Indonesia
adalah sebuah negara yang menganut sistem pemerintahan yang demokrasi. Dimana
kesetaraan, kebebasan berpendapat, dan berkumpul menjadi hal yang utama. Demokrasi
juga merupakan sistem politik di mana pemerintahan mesti dipercaya oleh rakyat,
dan memiliki mekanisme yang menjadikan responsif terhadap berbagai keinginan,
pilihan, dan kepentingan rakyat.[1]
Dalam suatu demokrasi juga memerlukan publik yang terorganisasi untuk berdemokrasi,
tersosialisasikan ragam norma dan nilainya, tidak hanya berkomitmen terhadap
kepentingan yang sempit, melainkan mengedepankan tujuan dan kepentingan
masyarakat secara luas. Terciptanya civic
community semacam ini, melalu adanya “masyarakat sipil” yang dinamis.
Masyarakat
sipil melingkupi kehidupan sosial terorganisir yang terbuka, sukarela, lahir
secara mandiri, setidaknya berswadaya secara parsial, otonom dari negara, dan
terikat pada tatanan legal atau seperangkat nilai-nilai bersama. Masyarakat
sipil sendiri adalah sebuah fenomena penengah, berdiri di antara ruang privat
dan negara. Ia bukan masyarakat parokial, masyarakat ekonomi dan juga
masyarakat politik.[2]
Di
negara Indonesia khusunya, masyarakat sipil sangat berkembang pesat sebagai
pendorong demokratisasi. Mereka bergerak dalam berbagai macam kegiatan, seperti
dalam hal kemanusian, lingkungan, dan masih banyak lagi. Dalam kegiatannya,
masyarakat sipil sudah mulai memberikan kontribusinya dalam pelayanan publik
dan pendukung demokratisasi.
Namun banyak berbagai dilema dan permasalahan yang
terjadi terhadap masyarakat sipil di Indonesia. Mulai dari pendanaan,
masyarakat sipil di Indonesia masih sangat bergantung pada donor luar negri
dalam mendukung program-programnya. MS di Indonesia kebanyakan belum mampu
membiayai kegiatnnya sendiri, terutama MS yang kecil. Sehingga terkadang
apabila tidak ada dana mereka bubar. Hal ini ditambah lagi dengan adanya “Paris
Declaration for Aid
Effectiveness”
pada tahun 2005.[3]
Pada intinya dalam deklarasi ini menyebutkan, bahwa negara maju dan lembaga
donor dalam memberikan bantuan harus melalui UN dan perbankan multinasional.
Karena lembagai ini mempunya pengalaman dalam mengelola dana bantuan (hibah)
secara efisien dan efektivitas tinggi.
Selain
itu untuk mendapatkan dana bantuan, mereka memberikan syarat-syarat yg harus
dipenuhi LSM. Mulai dari program-program yang jelas, kualitas sumber daya
manusia, kelegalan organisasi serta jejaring. Hal ini yang menjadi permasalahan
besar LSM di Indonesia. karena kebanyakan mereka masih bergantung pada donor
luar negri.
Masalah
yang lainnya, seperti kurang loyalnya para aktor didalam LSM tersebut. Seperti
yang kita ketahui terkadang para aktor LSM mau bekerja apabila ada dana.
Sedangkan apabila tidak ada dana, mereka bubar sendiri-sendiri. Hal ini yang
perlu diperbaiki. Selain itu banyak para aktor LSM yang tadinya idealis dalam
memperjuangkan kepentingan masyarakat. Namun apabila mereka beralih dalam
politik atau pemerintahan, mereka lupa akan idealismenya. Hal lain yang
terjadi, banyak LSM yang berebut dalam mendapatkan dana. Hal ini akan
memunculkan persaingan antar LSM. Sehingga mereka berusaha mendapatkan bantuan
itu untuk kepentingan kelompoknya.
Dari
semua permasalahan yang dipaparkan diatas, bahwa masyarakat sipil di Indonesia
masih bergantung pada donor luar negri untuk pembeayaan kegiatan dan
program-programnya. Selian itu kurang adanya kesadaran diri dalam pengabdiannya
terhadap masyarakat. Sehingga mereka mengadvokasi masyarakat, apabila ada dana.
Melihat
hal itu saya akan memberikan sumbagan pemikiran mengenai solusi dalam
permasalahan tersebut. Untuk membangun masyarakat sipil yang tangguh untuk
kedepannya. Mulai dari permasalahan pembeayaan, seharusnya masyarakat sipil
mulai menggembangkan usaha didalam organisasinya sendiri. Seperti pelayanan
jasa intelektual (jasa konsultasi, jasa pelatihan), investasi ( tabungan,
asuransi, saham), penyewaan fasilitas (gedung, fasiltas pelatihan), dan hasil
pelayanan jasa ekonomi. kegiatan ini semua dapat membantu pembeayaan
program-progrma masyarakat sipil tersebut. Sehingga tidak selalu bergantung
pada donor luar negri dalam masalah pemdanaan.
Selain itu iuran anggota sangat diperlukan. Karena ketika para anggota memberikan uang secara sukarela kepada
sebuah organisasi, mereka lebih mungkin merasa turutvmemiliki organisasi
tersebut.[4]
Hal ini akan membangun loyalitas dalam diri setiap aktor dalam kontribusinya
terhadap organisasi dan membantu masyarakat.
Selain
itu bisa melakukan pelatihan dan pendidikan terhadap Sumber Daya Manusianya
(SDM). Dengan pelatihan dan pendidikan, dapat menghasilkan SDM yang berkualitas
dan profesioanal dalam oraganisasi tersebut. Sehingga para SDM bisa bekerja
secara maksimal dalam kepentingannya untuk menangani isu-isu public dan
mempunyai loyalitas terhadap oraganisasinya. Agar setiap program-programnya
mendapatkan dukungan, Para LSM bisa membangun relasi antar LSM lain. Sehingga
bisa terbentuk konsolidasi dalam masyarakat sipil tersebut dan meminimalisir
terjadinya persaingan antar LSM. Selain itu perlunya modal sosial, sebagai
bentuk kerja sama dalam mendukung proses berlangsunganya kegiatan LSM selain
modal finansial.
Bibliography
Diamond, L.
(2003). Developing Democracy toward consolidation. Yogyakarta: IRE
Press Yogyakarta.
[1] Diamond,
L. (2003). Developing Democracy toward consolidation. Yogyakarta: IRE
Press Yogyakarta. Hal 276.
[2] Loc.cit.
[3] Dalam tulisan Frans Toegimin, hal
1.
[4] Ibid, hal. 317.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar