Selasa, 02 Juli 2013

Civil Society: Lembaga Bantuan Hukum


Indonesia sebagai negara penganut sistem demokrasi tidak bisa dilepaskan dengan adanya masyarakat sipil. Karena dalam demokrasi memerlukan publik yang terorganisasi untuk demokrasi, tersosialisasikan ragam norma dan nilainya, dan berkomitmen bukan hanya dengan segenap kepentingan sempitnya melainkan pada tujuan-tujuan masyarakat yang lebih luas. Model semacam ini bisa diwujudkan melalui adanya “masyarakat sipil” yang dinamis.  Masyarakat sipil melingkupi kehidupan sosial terorganisasi yang terbuka, sukarela, lahir secara mandiri, setidaknya swadaya secara parsial, otonom dari negara, dan terikat pada tatanan legal atau seperangkat nilai-nilai bersama.[2] Sehingga masyarakat sipil berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Karena pengertian “masyarakat” secara umum adalah keterlibatan warga negara yang bertindak secara kolektif dalam ruang publik untuk mengekspresikan kepentingan-kepentingan, hasrat pilihan, dan ide-ide mereka, untuk bertukar informasi, mencapai sasaran kolektif, mengajukan tuntutan kepada negara, memperbaiki struktur dan fungsi negara, dan untuk menuntut akuntabilitas pejabat negara.[3] Oleh karena itu posisi masyarakat sipil terletak di antara negara dan ruang privat.
Masyarakat sipil sendiri berbeda dengan masyarakat parokial, masyarakat ekonomi, dan masyarakat politik. Masyarakat parokial mementingkan kehidupanya sendiri, keluarga dan kelompok internal seperti ibadah, agama, rekreasi, hiburan, dan spiritualis. Sedangkan masyarakat ekonomi dalam kegiatanya berusaha mencari keuntungan dengan cara membuka usaha dan perusahaan-perusahaan bisnis individu maupun kelompok. Bukan juga masyarakat politik yang tujuannya memperoleh kekuasaan dalam pemerintahan suatu negara. Dalam masyarakat sipil mencakup semua aktor terorganisasi (dalam demokrasi, terutama partai-partai politik dan organisasi kampanye).[4] Walaupun masyarakat parokial dan masyarakat ekonomi tidak berorientasi pada kepentingan sipil dan ruang publik, namun keduanya dapat membantu menciptakan norma dan pola-pola keterlibatan cultural yang dapat meluas ke ruang publik.
Masyarakat sipil pada intinya berorientasi pasar, sehingga para aktor di dalamnya mengakui prinsip-prinsip otoritas negara dan rule of  law. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan jaminan rasa aman atas perlindungan tatanan hukum yang terlembagakan. Selain itu terdapat lima hal yang membedakan oraganisasi masyarakat sipil dengan kelompok-kelompok yang lainnya. Pertama, masyarakat sipil memusatkan perhatiannya pada tujuan-tujuan publik bukan tujuan privat. Kedua, masyarakat sipil dalam beberapa hal berhubungan dengan negara tetapi tidak berusaha merebut kekuasaan atas negara atau mendapat posisi dalam negara; ia tidak berusaha “mengendalikan politik secara menyeluruh”. Ketiga, masyarakat sipil mencakup pluralisme dan keragaman. Keempat, masyarakat sipil tidak berusaha menampilkan seluruh kepentingan pribadi atau komunitas. Kelima, masyarakat sipil haruslah dibedakan dari fenomena Civic community.[5] Dengan memahami penjelasan diatas mengenai masyarakat sipil. Mini riset saya yang membahas Lembaga Bantuan Hukum, termasuk dalam kategori masyarakat sipil. Karena sesuai dengan konsep masyarakat sipil itu sendiri.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di dirikan atas gagasan pada saat kongres Persatuan Advokasi Indonesia (Pradin) ke III tahun 1969. Gagasan tersebut mendapatkan persetujuan dari Dewan Pimpinan Pusat Peradin melalui surat keputusan Nomor 001/Kep/10/1970 tanggal 26 Oktober 1970 yang isinya penetapan pendirian Lembaga Bantuan Hukum/Lembaga Pembela Umum yang mulai berlaku tanggal 28 Oktober 1970. Sejak 25 April 2007 Ketua Dewan Pembinanya adalah Toety Heraty Roosseno yang terpilh menggantikan Adnan Buyung Nasution. Pada Akhir masa jabatannya, Toeti untuk sementara digantikan oleh Todung Mulya Lubis dan secara definit pada akhir 2011 dijabat oleh Abdul Rachman Saleh. Setelah beroperasi selama satu dasawarsa, pada 13 Maret 1980 status hukum LBH ditingkatkan menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Meskipun begitu, 28 Oktober tetap dijadikan sebagai hari ulang tahun LBH. Gagasan penderian LBH ini adalah untuk memberikan bantuan hukum bagi orang-orang yang tidak mampu memperjuangkan hak-haknya, seperti rakyat miskin yang digusur, dipinggirkan, dan keseharian pelanggaran atas hak-hak asasi mereka. Pada saat rezim otoriter Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto membawa LBH sebagai salah satu subyek kunci bagi perlawanan terhadap otoriterianisme dan menjadi simpul penting bagi gerakan pro-demokrasi. Prinsip-prinsip bagi penegakan demokrasi, hak asasi manusia dan keadilan, membawa LBH masuk dalam perlawanan atas ketidakadilan struktural yang dibangun pada saat Orde Baru. LBH memilih berada di sisi pergerakan kaum buruh, kaum miskin kota, petani, mahasiswa dan semua kekuatan yang memperjuangkan demokrasi.[6] Paparan diatas merupakan sejarah berdirinya LBH.
Fokus mini riset saya meneliti LBH yang berada di Yogyakarta. LBH ini didirikan pada tanggal 30 Juni 2012. Dan resmi berbadan hukum pada hari selasa tanggal 18 September 2012 setelah terdaftar di pengadilan negri Bantul dibawah nomor 262/LL/IX/2012 KUM. 01.01/PN.BTL. Selain itu, Pak Abung sebagai pendiri LBH juga bergerak pada isu perlindungan konsumen dengan membentuk Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen Indonesia (LAPKI) yang disahkan pada tanggal  7 Juni 2012. Sesuai dengan UU No 8 Tahun 1999 dan PP No 59 Tahun 2011 tentang pembentukan lembaga perlindungan konsumen.  LBH dengan slogan “Pedjoeang Keadilan” berkantor di Perum Trimulyo Rt.10, Desa Trimulyo, Kec. Jetis, Kab. Bantul. Provinsi DIY. LBH ini di ketuai oleh Abung Nugraha, S.Sos, SH (ketua), Widodo (wakil), Widi Asmara Jati (bendahara), Dendi Artstdenanto (sekretaris). LBH sebagai lembaga yang berdiri secara mandiri, otonom, tanpa ada bantuan dari pemerintah, bertujuan membantu masyarakat yang mempunyai permasalahan hukum. Meskipun mereka datang ke LBH dengan membawa biaya seadanya, dan terkadang tanpa adanya biaya. Para anggota yang terdapat di LBH tetap membantu dalam menyelesaikan perkara. Karena pada intinya LBH bertugas membantu masyarakat yang tidak mampu. Di sinilah peran LBH membantu masyarakat secara sukarela dengan senang hati dan mendampingi dalam menuntaskan masalah, walaupun terkadang mereka tidak mendapatkan uang setelah menangani permasalahan tersebut. Kerena LBH tidak tertuju pada pencarian keuntungan, tapi lebih kepada tindakan kemanusian yang bersifat sukarela. Selain itu, pada dasarnya setiap warga negara yang terkena kasus hukum, baik mereka benar atau salah, mereka berhak mendapatkan pembelaan dan didampingi oleh kuasa hukum.
Yang perlu di ketahui  bahwa LBH berbeda dengan kantor hukum, meskipun sama-sama menangani permasalahan hukum. Kantor hukum bersedia menangani masalah bila ada biaya operasional dan jasa pengacara dari client. Sedangkan LBH dengan sukarela menangani setiap permasalahan yang diadukan oleh masyarakat, walaupun tidak diabayar sama sekali. Dalam menangani masalah, ada dua cara penyelesaian yang  digunakan LBH. Secara litigasi maupun non litigasi. “Litigasi” adalah penyelesaian masalah dengan jalur pengadilan. Sedangkan “non litigasi” penyelesaian dilakukan di luar pengadilan, dengan jalan damai. LBH sendiri memilih jalur non litagasi unutk penyelesaian perkara. Namun apabila dari pihak lawan tidak mau damai, terpaksa LBH menempuh jalur pengadilan sebagai penyelesaian perkara. Contoh perkara yang ditangani LBH, seperti perkara pidana, perkara perdata, sengketa tanah, kasus perceraian, perkara bisnis, hutang piutang dan kepailitan, tata usaha negara, ketenaga kerjaan. Namun disetiap aggota LBH sendiri mempunyai komitmen, bahwa LBH tidak menangani kasus korupsi dan pelecehan seksual. Hal ini yang merupaka kode etik dari LBH.
Dalam kegiatannya LBH melakukan sosialisasi kepada warga masyarakat, mengenai kasus hukum dan produk-produk makanan dan bahaya dari penggunaan zat makanan. Agar sosialisasi berjalan dengan lancar, LBH bekerjasama dengan warga masyarakat, terutama kepala desa, rt, dan orang yang berpengaruh di daerah tersebut. Sosialisasi ini dimaksudakan agar warga masyarakat mengetahui tentang permaslahan hukum, bagaimana penanganannya, dan hal yang berkaitan dengan produk-produk yang di kosumsi. Karena apabila ada penyalahgunaan zat-zat berbahaya dalam produk makanan, minuman maupun obat-obatan bisa terkena masalah pidana karena melanggar hukum. Di sinilah Peran LBH yang saling bekerjasama dengan LAPKI.  Karena LBH dan LAPKI bisa saling beriringan dalam melakukan kegiatan-kegiatannya. LBH juga tidak cuma menangani kasus hukum yang berada di Yogyakarta, melainkan di daerah-daerah lain juga. Walaupun di daerah lain juga sudah ada LBH. Namun mereka dengan sukarela membantu warga masyarakat yang membutuhkan bantuannya. Karena jaringan LBH yang luas dan menyebar di seluruh Indonesia, hal ini yang memudahkan mereka untuk saling bekerjasama dalam menangani perkara. Pak Abung sendiri selaku ketua LBH, dia mempunyai rencana bahwa bulan September akan mendirikan LSM yang kegiatannya sebagai “pemantau kebijakan publik dan pemantau kinerja aparatur pemerintah”. LSM ini didirikan guna mengontrol kinerja dari pemerintah. Sehingga apabila suatu pemerintahan terdapat aktor-aktor yang dalam kinerjanya terindikasi berbuat hal yang tidak sesusai, mencurigakan bisa segera ditindak lanjuti. Selain itu guna kegiatan dari LSM ini bisa memberikan transparasi kinerja pemerintah kepada masyarakat.
Untuk mendukung kelangsungan kegiatan dari LBH sendiri pasti butuh dana/biaya. Seperti yang kita ketahui bahwa sumber pendanaan masyarakat sipil secara umum di kategorikan dalam dua bagian. Sumber internal dan sumber eksternal. Sumber pembiyaan internal adalah dana yang bersumber dari internal lembaga atau “internal income” (termasuk dalam personil lembaga) dan dari usaha-usaha yang dilaksanakan oleh lembaga. Pada sebagian besar Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), sumber pembiayaan internal ini sangatlah terbatas, bahkan tidak ada sama sekali. Internal income memang cenderung dimiliki oleh NGO yang sudah lebih “eksis”. Sedangkan sumber eksternal adalah semua penerimaan dari luar lembaga.[7] Sebagai LBH yang baru berdiri (belum sampai satu tahun) sangatlah sulit untuk mendapatkan sumber pendanaan. Hal ini dikarenakan masih belum ada relasi dengan lembaga donor, terutama yang berasal dari luar negri. Karena lembaga donor yang mau memberian bantuan dengan jumlah yang banyak, biasanya dari luar negri. Untuk sementara ini LBH mendapatkan dana dari sumber internal anggotanya. Dimana setiap anggota dari LBH melakukan iuran demi keberlangsungan kegiatannya. Selain itu pendanaan LBH di dapatkan dari hasil pelayanan jasa intelektual, seperti saat penanganan kasus. Di LBH sendiri untuk penangan kasus pasti ada tarif tersendiri, namun apabila dari pihak yang bermasalah benar-benar tidak mempunyai uang untuk membayar/ tidak mampu, LBH tetap menangani perkara ini dengan sukarela. Tanpa memaksa client untuk membayar. Dari sinilah sumber pendanaan internal LBH. Pak Abung juga menegaskan,” bahwa di LBH tidak ada uang, tapi banyak perkara. Kami mengani perkara ini dengan sukarela. Karena kami terjun di masyarakat sipil sudah mempunyai komitmen, tenaga dan pikiran kita untuk membantu masyarakat. Sehingga kami tidak di gaji pun rela melakukannya.”
Sebenarnya ada bantuan dana untuk LBH seluruh Indonesia,yang datangnya dari Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Namun LBH yang bisa mendapatkan dana bantuan harus dengan syarat, minimal LBH sudah berjalan selama tiga tahun. Sedangkan LBH yang di Yogyakarta, khususnya berada di Bantul, usianya belum genap satu tahun. Sehingga jarak mereka masih jauh untuk mendapatkan bantuan dari Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sebenarnya bantuan dana yang diberikan sangatlah besar, sekitar 40,6 miliar untuk LBH seluruh Indonesia. Untuk penanganan satu perakara, LBH mendapatkan dana bantuan sebesar 6 juta.
Sedangkan dari sumber eksternal, seperti lembaga donor, LBH sendiri belum mendapatkan bantuan. Permasalahan ini bukan karena LBH yang baru saja berdiri dan sedikit relasi terhadap lembaga donor. Karena lebih tepatnya, para aktor yang terdapat di LBH ini malas untuk membikin dan mengajukan proposal kepada lembaga donor. Padahal sebenarnya para aktor di LBH sendiri memiliki banyak alamat lembaga donor yang bisa diajukan untuk memberikan bantuan. Seperti lembaga donor Global Manistries, OGB, Yapka dan masih banyak lagi. Pak Abung sendiri mengatakan,” bahwa sebenarnya megajukan bantuan kepada lembaga donor tidaklah sulit. Karena banyak macam-macam lembaga donor yang ingin membantu jalanya civil society, selain itu anggran yang diberikan jumlahnya besar hingga ratusan juta.”
Namun seperti yang sudah dijelaskan oleh Pak Frans Toegimin tentang pembiayaan organisasi masyarakat sipil (OMS) pada saat mata kuliah masyarakat sipil. Pada intinya masyarakat sipil di Indonesia masih lemah dalam mencari bantuan dari lembaga donor. Hal ini dikarenakan kurang mahirnya dalam pembuatan proposal program-program kegiatan OMS. faktor yang melatarbelakangi kurang mahirnya membuat proposal pendanaan adalah 1. Anggota OMS memang benar-benar tidak bisa membuat proposal yang baik dan benar, namun mereka juga malas untuk berlatih. 2. Ada juga anggota yang sudah bisa dan mampu membuat proposal pendanaan, namun mereka malas untuk mengajukan bantuan ke lembaga donor. Dua faktor ini yang menyebabkan lemahnya pembiayaan OMS di Indonesia. Akibatnya OMS di Indonesia kurang berkembang, mudah berhenti dalam program kegiatannya karena tidak ada dana dan mudah membubarkan diri.
Permasalahan ini juga yang sedang dialami oleh LBH. Untuk pendanaan dari sumber luar mereka belum mendapatkan sama sekali. Pak Abung sendiri menjelaskan, bahwa sebenarnya banyak lembaga donor yang bisa dimintai bantuan dana. Dana yang diberikan pun tidak tangung-tanggung, nominalnya hingga ratusan juta. Selain itu, Pak Abung sendiri memiliki data-data yang sangat lengkap mengenai lembaga donor yang bisa memberikan bantuan kepada masyarakat sipil. Namun Pak Abung sendiri mengaku, bahwa dirinya malas untuk membuat dan mengajukan proposal lembaga donor agar mendapatkan bantuan. Hal itu bukan dikarenakan Pak Abung tidak pandai membuat proposal, tapi lebih tepatnya dia malas. Mental yang seperti ini yang menjadikan masyarakat sipil di Indonesia kurang berkembang, karena untuk mencari dana agar bisa mendukung progrmanya aja malas. Namun untuk kedepannya LBH akan mencoba mengajukan bantuan ke lembaga donor. Agar perjalanan LBH tidak terkendala oleh pendanaan yang kurang. Pak Abung menegaskan,” bahwa mulai bulan depan, lebih tepatnya agustus, para anggota LBH akan mencoba membuat proposal dan diajukan ke lembaga donor. Agar mendapatkan dana untuk mendukung kegiatannya dalam mengadvokasi masyarakat yang mengalami permasalahan hukum”
Dengan hadirnya LBH sendiri sangat bermanfaat bagi masayarakat, terutama masyarakat tidak mampu yang mempunyai masalah hukum.  Karena dengan adanya LBH, masalah tersebut dapat diselesaikan tanpa harus mengeluarkan banyak biaya. LBH membantu permasalahan dengan biaya seadanya dan terkadang tidak ada biayapun mereka tetap mau membantu. Berbeda dengan kantor hukum yang mau menangani masalah bila ada dana operasional dan sewa pengacara. Hal ini yang membuat masayarakat kalangan masayarakat bawah sulit untuk mengakses dan medapatkan pelayanan di kantor hukum.  Selain itu LBH yang juga bergerak di perlindungan konsumen, perananya sangat besar di masyarakat. Karena dengan selalu sosialisasi mengenai produk- produk makanan, bahan-bahan dan zat-zat yang tidak boleh digunakan dalam makanan, secara tidak langsung telah menambah pengetahuan masyarakat dan mengantisipasai hal-hal yang buruk.
Para aktor yang berada di LBH pun senang bisa terjun sebagai masayarakat sipil. Karena dengan posisi mereka yang dekat dengan masayarakat, idealisme mereka bisa terwujud dan tetap bisa dipertahankan. Karena dengan  terjun di LBH mereka bisa membantu masayarakat yang memang benar-benar memberikan bantuan. Dan dalam membantu disertai rasa sukarela tanpa harus memperhitungkan keuntungan yang mereka dapatkan.berbeda lagi kalau kita berada dalam lingku pemerintahan, kita tidak bisa mewujudakan idealisme kita sepenuhnya.karena kita harus mengikuti sistem yang sudah berlaku. Apabila dari pemerintahannya sudah korup, pasti yang berada dibawahnya juga akan terkena imbasnya. Dan disitu kita sama saja berada didalam suatu ruang yang kotor. Karena pada dasarnya yang namanya sistem mustahil untuk dilawan, pasti kita akan terbawa oleh arus sistem itu.
Dari hasil penjelasan diatas, LBH sendiri termasuk dalam kategori masyarakat sipil. Karena LBH sesuai dengan konsep-konsep dan kriteria masayarakat sipil yang sudah dijelaskan oleh Larry Diamond dalam bukunya “Developing Democracy Toward Consolidation”. Dimana LBH berada dalam kehidupan sosial yang bergerak dalam bidang hukum memang benar-benar lahir secara mandiri, tanpa ada bantuan dari pemerintahan maupun privat sector. Dalam kegiatannyapun LBH berbeda dengan masayarakat ekonomi maupun masyarakat parokial. Karena dalam membantu masayarakat yang terkena masalah hukum, LBH dengan sukarela membantunya tanpa ada orientasi yang berujung pada keuntungan. Untuk mendukung kegiatan dari LBH sendiri, para anggotnya mengumpulkan dana dari iuran anggotanya untuk sementara ini. Karena mereka belum mendapatkan dana dari bantuan lembaga donor, tetapi mereka tetap mengusahakannya. Sebagai masyarakat sipil, LBH juga terikat pada tatanan legal atau seperangkat nilai-nilai bersama. Dimana LBH sebagai suatu lembaga sudah disyahkan dan resmi berbadan hukum pada hari selasa tanggal 18 September 2012 setelah terdaftar di pengadilan negri Bantul dibawah nomor 262/LL/IX/2012 KUM. 01.01/PN.BTL. Selain itu LBH juga mempunyai aturan-aturan formal yang harus dipatuhi oleh setiap anggotanya. Dengan demikian sudah jelas bahwa LBH termasuk dalam kategori masyarakat sipil yang memusatkan perhatiannya pada tujuan-tujuan publik.

Daftar Isi
Buku            : Diamond, L. (2003). Developing Democracy toward consolidation.             Yogyakarta: IRE Press Yogyakarta
Wawancara: Hasil wawancara dengan ketua LBH Yogyakarta kantor cabang Bantul  Bapak                                          Abung Nugraha, S.Sos, SH



[1] Mini riset mengenai Lembaga Bantuan Hukum (LBH)  sebagai tugas  UAS mata kuliah “Masyarakat Sipil” pada hari Jumat,  Tanggal 28  Juni 2013.
[2] Diamond, L. (2003). Developing Democracy toward consolidation. Yogyakarta: IRE Press Yogyakarta. Hal. 278.

[3] Loc. cit.
[4] Ibid, Hal. 279.
[5] Diamond, L. (2003). Developing Democracy toward consolidation. Yogyakarta: IRE Press Yogyakarta. Hal. 280-283.


[6] Data tersebut di dapatkan dari hasil wawancara dengan ketua LBH Yogyakarta kantor cabang Bantul  Bapak Abung Nugraha, S.Sos, SH
[7] Dikutip dari bahan bacaan yang berjudul “Pembeayaan Oraganisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Indonesia” ditulis oleh Frans Toegimin, untuk pertemuan mata kuliah masyarakat sipil pada hari Senin, 3 Juni 2013.

1 komentar: