Indonesia
sebagai negara penganut sistem demokrasi tidak bisa dilepaskan dengan adanya
masyarakat sipil. Karena dalam demokrasi memerlukan publik yang terorganisasi
untuk demokrasi, tersosialisasikan ragam norma dan nilainya, dan berkomitmen
bukan hanya dengan segenap kepentingan sempitnya melainkan pada tujuan-tujuan
masyarakat yang lebih luas. Model semacam ini bisa diwujudkan melalui adanya
“masyarakat sipil” yang dinamis. Masyarakat sipil melingkupi kehidupan sosial
terorganisasi yang terbuka, sukarela, lahir secara mandiri, setidaknya swadaya
secara parsial, otonom dari negara, dan terikat pada tatanan legal atau
seperangkat nilai-nilai bersama.[2]
Sehingga masyarakat sipil berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Karena
pengertian “masyarakat” secara umum adalah keterlibatan
warga negara yang bertindak secara kolektif dalam ruang publik untuk
mengekspresikan kepentingan-kepentingan, hasrat pilihan, dan ide-ide mereka,
untuk bertukar informasi, mencapai sasaran kolektif, mengajukan tuntutan kepada
negara, memperbaiki struktur dan fungsi negara, dan untuk menuntut
akuntabilitas pejabat negara.[3]
Oleh karena itu posisi masyarakat sipil terletak di antara negara dan ruang
privat.
Masyarakat sipil sendiri berbeda dengan
masyarakat parokial, masyarakat ekonomi, dan masyarakat politik. Masyarakat
parokial mementingkan kehidupanya sendiri, keluarga dan kelompok internal
seperti ibadah, agama, rekreasi, hiburan, dan spiritualis. Sedangkan masyarakat
ekonomi dalam kegiatanya berusaha mencari keuntungan dengan cara membuka usaha
dan perusahaan-perusahaan bisnis individu maupun kelompok. Bukan juga masyarakat
politik yang tujuannya memperoleh kekuasaan dalam pemerintahan suatu negara. Dalam masyarakat sipil mencakup semua aktor
terorganisasi (dalam demokrasi, terutama partai-partai politik dan organisasi
kampanye).[4]
Walaupun masyarakat parokial dan masyarakat ekonomi tidak berorientasi pada
kepentingan sipil dan ruang publik, namun keduanya dapat membantu menciptakan
norma dan pola-pola keterlibatan cultural yang dapat meluas ke ruang publik.
Masyarakat sipil pada intinya
berorientasi pasar, sehingga para aktor di dalamnya mengakui prinsip-prinsip
otoritas negara dan rule of law. Hal ini
dilakukan untuk mendapatkan jaminan rasa aman atas perlindungan tatanan hukum
yang terlembagakan. Selain itu terdapat lima hal yang membedakan oraganisasi masyarakat
sipil dengan kelompok-kelompok yang lainnya.
Pertama, masyarakat sipil memusatkan perhatiannya pada tujuan-tujuan publik
bukan tujuan privat. Kedua, masyarakat sipil dalam beberapa hal berhubungan
dengan negara tetapi tidak berusaha merebut kekuasaan atas negara atau mendapat
posisi dalam negara; ia tidak berusaha “mengendalikan politik secara
menyeluruh”. Ketiga, masyarakat sipil mencakup pluralisme dan keragaman.
Keempat, masyarakat sipil tidak berusaha menampilkan seluruh kepentingan
pribadi atau komunitas. Kelima, masyarakat sipil haruslah dibedakan dari
fenomena Civic community.[5]
Dengan memahami penjelasan diatas mengenai masyarakat sipil. Mini riset
saya yang membahas Lembaga Bantuan Hukum, termasuk dalam kategori masyarakat
sipil. Karena sesuai dengan konsep masyarakat sipil itu sendiri.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di dirikan
atas gagasan pada saat kongres Persatuan Advokasi Indonesia (Pradin) ke III
tahun 1969. Gagasan tersebut mendapatkan persetujuan dari Dewan Pimpinan Pusat
Peradin melalui surat keputusan Nomor 001/Kep/10/1970 tanggal 26 Oktober 1970
yang isinya penetapan pendirian Lembaga Bantuan Hukum/Lembaga Pembela Umum yang
mulai berlaku tanggal 28 Oktober 1970. Sejak 25 April 2007 Ketua Dewan
Pembinanya adalah Toety Heraty Roosseno yang terpilh menggantikan Adnan Buyung
Nasution. Pada Akhir masa jabatannya, Toeti untuk sementara digantikan oleh
Todung Mulya Lubis dan secara definit pada akhir 2011 dijabat oleh Abdul
Rachman Saleh. Setelah beroperasi selama satu dasawarsa, pada 13 Maret 1980
status hukum LBH ditingkatkan menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI). Meskipun begitu, 28 Oktober tetap dijadikan sebagai hari ulang tahun
LBH. Gagasan penderian LBH ini adalah untuk memberikan bantuan hukum bagi
orang-orang yang tidak mampu memperjuangkan hak-haknya, seperti rakyat miskin
yang digusur, dipinggirkan, dan keseharian pelanggaran atas hak-hak asasi
mereka. Pada saat rezim otoriter Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto membawa
LBH sebagai salah satu subyek kunci bagi perlawanan terhadap otoriterianisme
dan menjadi simpul penting bagi gerakan pro-demokrasi. Prinsip-prinsip bagi
penegakan demokrasi, hak asasi manusia dan keadilan, membawa LBH masuk dalam
perlawanan atas ketidakadilan struktural yang dibangun pada saat Orde Baru. LBH
memilih berada di sisi pergerakan kaum buruh, kaum miskin kota, petani,
mahasiswa dan semua kekuatan yang memperjuangkan demokrasi.[6] Paparan
diatas merupakan sejarah berdirinya LBH.
Fokus
mini riset saya meneliti LBH yang berada di Yogyakarta. LBH ini didirikan pada
tanggal 30 Juni 2012. Dan resmi berbadan hukum pada hari selasa tanggal 18
September 2012 setelah terdaftar di pengadilan negri Bantul dibawah nomor
262/LL/IX/2012 KUM. 01.01/PN.BTL. Selain itu, Pak Abung sebagai pendiri LBH
juga bergerak pada isu perlindungan konsumen dengan membentuk Lembaga Advokasi
dan Perlindungan Konsumen Indonesia (LAPKI) yang disahkan pada tanggal 7 Juni 2012. Sesuai dengan UU No 8 Tahun 1999
dan PP No 59 Tahun 2011 tentang pembentukan lembaga perlindungan konsumen. LBH dengan slogan “Pedjoeang Keadilan” berkantor di Perum
Trimulyo Rt.10, Desa Trimulyo, Kec. Jetis, Kab. Bantul. Provinsi DIY. LBH ini di
ketuai oleh Abung Nugraha, S.Sos, SH (ketua), Widodo (wakil), Widi Asmara Jati
(bendahara), Dendi Artstdenanto (sekretaris). LBH sebagai lembaga yang berdiri
secara mandiri, otonom, tanpa ada bantuan dari pemerintah, bertujuan membantu
masyarakat yang mempunyai permasalahan hukum. Meskipun mereka datang ke LBH dengan
membawa biaya seadanya, dan terkadang tanpa adanya biaya. Para anggota yang
terdapat di LBH tetap membantu dalam menyelesaikan perkara. Karena pada intinya
LBH bertugas membantu masyarakat yang tidak mampu. Di sinilah peran LBH
membantu masyarakat secara sukarela dengan senang hati dan mendampingi dalam
menuntaskan masalah, walaupun terkadang mereka tidak mendapatkan uang setelah
menangani permasalahan tersebut. Kerena LBH tidak tertuju pada pencarian
keuntungan, tapi lebih kepada tindakan kemanusian yang bersifat sukarela.
Selain itu, pada dasarnya setiap warga negara yang terkena kasus hukum, baik
mereka benar atau salah, mereka berhak mendapatkan pembelaan dan didampingi
oleh kuasa hukum.
Yang perlu di
ketahui bahwa LBH berbeda dengan kantor
hukum, meskipun sama-sama menangani permasalahan hukum. Kantor hukum bersedia menangani
masalah bila ada biaya operasional dan jasa pengacara dari client. Sedangkan LBH dengan sukarela menangani setiap permasalahan
yang diadukan oleh masyarakat, walaupun tidak diabayar sama sekali. Dalam menangani
masalah, ada dua cara penyelesaian yang
digunakan LBH. Secara litigasi maupun non litigasi. “Litigasi” adalah penyelesaian masalah
dengan jalur pengadilan. Sedangkan “non
litigasi” penyelesaian dilakukan di luar pengadilan, dengan jalan damai.
LBH sendiri memilih jalur non litagasi unutk penyelesaian perkara. Namun
apabila dari pihak lawan tidak mau damai, terpaksa LBH menempuh jalur
pengadilan sebagai penyelesaian perkara. Contoh perkara yang ditangani LBH, seperti perkara pidana, perkara perdata,
sengketa tanah, kasus perceraian, perkara bisnis, hutang piutang dan
kepailitan, tata usaha negara, ketenaga kerjaan. Namun disetiap aggota LBH
sendiri mempunyai komitmen, bahwa LBH tidak menangani kasus korupsi dan pelecehan seksual. Hal ini
yang merupaka kode etik dari LBH.
Dalam kegiatannya LBH
melakukan sosialisasi kepada warga masyarakat, mengenai kasus hukum dan
produk-produk makanan dan bahaya dari penggunaan zat makanan. Agar sosialisasi
berjalan dengan lancar, LBH bekerjasama dengan warga masyarakat, terutama
kepala desa, rt, dan orang yang berpengaruh di daerah tersebut. Sosialisasi ini
dimaksudakan agar warga masyarakat mengetahui tentang permaslahan hukum,
bagaimana penanganannya, dan hal yang berkaitan dengan produk-produk yang di
kosumsi. Karena apabila ada penyalahgunaan zat-zat berbahaya dalam produk
makanan, minuman maupun obat-obatan bisa terkena masalah pidana karena
melanggar hukum. Di sinilah Peran LBH yang saling bekerjasama dengan LAPKI. Karena LBH dan LAPKI bisa saling beriringan
dalam melakukan kegiatan-kegiatannya. LBH juga tidak cuma menangani kasus hukum
yang berada di Yogyakarta, melainkan di daerah-daerah lain juga. Walaupun di
daerah lain juga sudah ada LBH. Namun mereka dengan sukarela membantu warga
masyarakat yang membutuhkan bantuannya. Karena jaringan LBH yang luas dan
menyebar di seluruh Indonesia, hal ini yang memudahkan mereka untuk saling bekerjasama
dalam menangani perkara. Pak Abung sendiri selaku ketua LBH, dia mempunyai
rencana bahwa bulan September akan mendirikan LSM yang kegiatannya sebagai
“pemantau kebijakan publik dan pemantau kinerja aparatur pemerintah”. LSM ini
didirikan guna mengontrol kinerja dari pemerintah. Sehingga apabila suatu
pemerintahan terdapat aktor-aktor yang dalam kinerjanya terindikasi berbuat hal
yang tidak sesusai, mencurigakan bisa segera ditindak lanjuti. Selain itu guna
kegiatan dari LSM ini bisa memberikan transparasi kinerja pemerintah kepada
masyarakat.
Untuk mendukung kelangsungan
kegiatan dari LBH sendiri pasti butuh dana/biaya. Seperti yang kita ketahui
bahwa sumber pendanaan masyarakat sipil secara umum di kategorikan dalam dua
bagian. Sumber internal dan sumber eksternal. Sumber pembiyaan internal adalah dana yang
bersumber dari internal lembaga atau “internal income” (termasuk dalam personil
lembaga) dan dari usaha-usaha yang dilaksanakan oleh lembaga. Pada sebagian
besar Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), sumber pembiayaan internal ini
sangatlah terbatas, bahkan tidak ada sama sekali. Internal income memang
cenderung dimiliki oleh NGO yang sudah lebih “eksis”. Sedangkan sumber
eksternal adalah semua penerimaan dari luar lembaga.[7]
Sebagai LBH yang baru berdiri (belum sampai satu tahun) sangatlah sulit
untuk mendapatkan sumber pendanaan. Hal ini dikarenakan masih belum ada relasi
dengan lembaga donor, terutama yang berasal dari luar negri. Karena lembaga
donor yang mau memberian bantuan dengan jumlah yang banyak, biasanya dari luar
negri. Untuk sementara ini LBH mendapatkan dana dari sumber internal
anggotanya. Dimana setiap anggota dari LBH melakukan iuran demi keberlangsungan
kegiatannya. Selain itu pendanaan LBH di dapatkan dari hasil pelayanan jasa
intelektual, seperti saat penanganan kasus. Di LBH sendiri untuk penangan kasus
pasti ada tarif tersendiri, namun apabila dari pihak yang bermasalah benar-benar
tidak mempunyai uang untuk membayar/ tidak mampu, LBH tetap menangani perkara ini
dengan sukarela. Tanpa memaksa client
untuk membayar. Dari sinilah sumber pendanaan internal LBH. Pak Abung juga
menegaskan,” bahwa di LBH tidak ada uang,
tapi banyak perkara. Kami mengani perkara ini dengan sukarela. Karena kami
terjun di masyarakat sipil sudah mempunyai komitmen, tenaga dan pikiran kita
untuk membantu masyarakat. Sehingga kami tidak di gaji pun rela melakukannya.”
Sebenarnya ada bantuan dana
untuk LBH seluruh Indonesia,yang datangnya dari Kementrian Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Namun LBH yang bisa mendapatkan dana bantuan harus dengan syarat,
minimal LBH sudah berjalan selama tiga tahun. Sedangkan LBH yang di
Yogyakarta, khususnya berada di Bantul, usianya belum genap satu tahun.
Sehingga jarak mereka masih jauh untuk mendapatkan bantuan dari Kementrian
Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sebenarnya bantuan dana yang diberikan sangatlah
besar, sekitar 40,6 miliar untuk LBH seluruh Indonesia. Untuk penanganan satu
perakara, LBH mendapatkan dana bantuan sebesar 6 juta.
Sedangkan dari sumber
eksternal, seperti lembaga donor, LBH sendiri belum mendapatkan bantuan.
Permasalahan ini bukan karena LBH yang baru saja berdiri dan sedikit relasi
terhadap lembaga donor. Karena lebih tepatnya, para aktor yang terdapat di LBH
ini malas untuk membikin dan mengajukan proposal kepada lembaga donor. Padahal
sebenarnya para aktor di LBH sendiri memiliki banyak alamat lembaga donor yang
bisa diajukan untuk memberikan bantuan. Seperti lembaga donor Global
Manistries, OGB, Yapka dan masih banyak lagi. Pak Abung sendiri mengatakan,”
bahwa sebenarnya megajukan bantuan kepada lembaga donor tidaklah sulit. Karena
banyak macam-macam lembaga donor yang ingin membantu jalanya civil society, selain itu anggran yang
diberikan jumlahnya besar hingga ratusan juta.”
Namun
seperti yang sudah dijelaskan oleh Pak Frans Toegimin tentang pembiayaan organisasi
masyarakat sipil (OMS) pada saat mata kuliah masyarakat sipil. Pada intinya
masyarakat sipil di Indonesia masih lemah dalam mencari bantuan dari lembaga
donor. Hal ini dikarenakan kurang mahirnya dalam pembuatan proposal
program-program kegiatan OMS. faktor yang melatarbelakangi kurang mahirnya
membuat proposal pendanaan adalah 1. Anggota OMS memang benar-benar tidak bisa
membuat proposal yang baik dan benar, namun mereka juga malas untuk berlatih.
2. Ada juga anggota yang sudah bisa dan mampu membuat proposal pendanaan, namun
mereka malas untuk mengajukan bantuan ke lembaga donor. Dua faktor ini yang
menyebabkan lemahnya pembiayaan OMS di Indonesia. Akibatnya OMS di Indonesia
kurang berkembang, mudah berhenti dalam program kegiatannya karena tidak ada dana dan mudah
membubarkan diri.
Permasalahan ini juga
yang sedang dialami oleh LBH. Untuk pendanaan dari sumber luar mereka belum
mendapatkan sama sekali. Pak Abung sendiri menjelaskan, bahwa sebenarnya banyak
lembaga donor yang bisa dimintai bantuan dana. Dana yang diberikan pun tidak
tangung-tanggung, nominalnya hingga ratusan juta. Selain itu, Pak Abung sendiri
memiliki data-data yang sangat lengkap mengenai lembaga donor yang bisa
memberikan bantuan kepada masyarakat sipil. Namun Pak Abung sendiri mengaku,
bahwa dirinya malas untuk membuat dan mengajukan proposal lembaga donor agar
mendapatkan bantuan. Hal itu bukan dikarenakan Pak Abung tidak pandai membuat
proposal, tapi lebih tepatnya dia malas. Mental yang seperti ini yang
menjadikan masyarakat sipil di Indonesia kurang berkembang, karena untuk
mencari dana agar bisa mendukung progrmanya aja malas. Namun untuk kedepannya
LBH akan mencoba mengajukan bantuan ke lembaga donor. Agar perjalanan LBH tidak
terkendala oleh pendanaan yang kurang. Pak Abung menegaskan,” bahwa mulai bulan
depan, lebih tepatnya agustus, para anggota LBH akan mencoba membuat proposal
dan diajukan ke lembaga donor. Agar mendapatkan dana untuk mendukung
kegiatannya dalam mengadvokasi masyarakat yang mengalami permasalahan hukum”
Dengan
hadirnya LBH sendiri sangat bermanfaat bagi masayarakat, terutama masyarakat tidak
mampu yang mempunyai masalah hukum.
Karena dengan adanya LBH, masalah tersebut dapat diselesaikan tanpa
harus mengeluarkan banyak biaya. LBH membantu permasalahan dengan biaya
seadanya dan terkadang tidak ada biayapun mereka tetap mau membantu. Berbeda
dengan kantor hukum yang mau menangani masalah bila ada dana operasional dan
sewa pengacara. Hal ini yang membuat masayarakat kalangan masayarakat bawah
sulit untuk mengakses dan medapatkan pelayanan di kantor hukum. Selain itu LBH yang juga bergerak di
perlindungan konsumen, perananya sangat besar di masyarakat. Karena dengan
selalu sosialisasi mengenai produk- produk makanan, bahan-bahan dan zat-zat
yang tidak boleh digunakan dalam makanan, secara tidak langsung telah menambah
pengetahuan masyarakat dan mengantisipasai hal-hal yang buruk.
Para
aktor yang berada di LBH pun senang bisa terjun sebagai masayarakat sipil.
Karena dengan posisi mereka yang dekat dengan masayarakat, idealisme mereka
bisa terwujud dan tetap bisa dipertahankan. Karena dengan terjun di LBH mereka bisa membantu
masayarakat yang memang benar-benar memberikan bantuan. Dan dalam membantu
disertai rasa sukarela tanpa harus memperhitungkan keuntungan yang mereka
dapatkan.berbeda lagi kalau kita berada dalam lingku pemerintahan, kita tidak
bisa mewujudakan idealisme kita sepenuhnya.karena kita harus mengikuti sistem
yang sudah berlaku. Apabila dari pemerintahannya sudah korup, pasti yang berada
dibawahnya juga akan terkena imbasnya. Dan disitu kita sama saja berada didalam
suatu ruang yang kotor. Karena pada dasarnya yang namanya sistem mustahil untuk
dilawan, pasti kita akan terbawa oleh arus sistem itu.
Dari hasil penjelasan diatas, LBH
sendiri termasuk dalam kategori masyarakat sipil. Karena LBH sesuai dengan
konsep-konsep dan kriteria masayarakat sipil yang sudah dijelaskan oleh Larry
Diamond dalam bukunya “Developing Democracy Toward Consolidation”. Dimana LBH berada
dalam kehidupan sosial yang bergerak dalam bidang hukum memang benar-benar lahir
secara mandiri, tanpa ada bantuan dari pemerintahan maupun privat sector. Dalam kegiatannyapun LBH berbeda dengan masayarakat
ekonomi maupun masyarakat parokial. Karena dalam membantu masayarakat yang
terkena masalah hukum, LBH dengan sukarela membantunya tanpa ada orientasi yang
berujung pada keuntungan. Untuk mendukung kegiatan dari LBH sendiri, para
anggotnya mengumpulkan dana dari iuran anggotanya untuk sementara ini. Karena
mereka belum mendapatkan dana dari bantuan lembaga donor, tetapi mereka tetap
mengusahakannya. Sebagai masyarakat sipil, LBH juga terikat pada tatanan legal
atau seperangkat nilai-nilai bersama. Dimana LBH sebagai suatu lembaga sudah
disyahkan dan resmi berbadan hukum pada hari selasa tanggal 18 September 2012
setelah terdaftar di pengadilan negri Bantul dibawah nomor 262/LL/IX/2012 KUM.
01.01/PN.BTL. Selain itu LBH juga mempunyai aturan-aturan formal yang harus
dipatuhi oleh setiap anggotanya. Dengan demikian sudah jelas bahwa LBH termasuk
dalam kategori masyarakat sipil yang memusatkan perhatiannya pada tujuan-tujuan
publik.
Daftar Isi
Buku : Diamond, L. (2003). Developing Democracy toward
consolidation. Yogyakarta: IRE Press Yogyakarta
Wawancara: Hasil
wawancara dengan ketua LBH Yogyakarta kantor cabang Bantul Bapak Abung Nugraha, S.Sos, SH
[1] Mini riset mengenai Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) sebagai tugas UAS mata kuliah “Masyarakat Sipil” pada hari
Jumat, Tanggal 28 Juni 2013.
[2] Diamond,
L. (2003). Developing Democracy toward consolidation. Yogyakarta: IRE
Press Yogyakarta. Hal. 278.
[3] Loc. cit.
[4] Ibid, Hal. 279.
[5] Diamond,
L. (2003). Developing Democracy toward consolidation. Yogyakarta: IRE
Press Yogyakarta. Hal. 280-283.
[6] Data tersebut di dapatkan dari
hasil wawancara dengan ketua LBH Yogyakarta kantor cabang Bantul Bapak Abung Nugraha, S.Sos, SH
[7] Dikutip dari bahan bacaan yang
berjudul “Pembeayaan Oraganisasi
Masyarakat Sipil (OMS) di Indonesia” ditulis oleh Frans Toegimin, untuk
pertemuan mata kuliah masyarakat sipil pada hari Senin, 3 Juni 2013.
nice info gan...
BalasHapus