Selasa, 02 Juli 2013

Rational Choice dan Struktural: Perilaku Pemilu Dalam Demokrasi


Pemilu adalah arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan yang didasarkan pada pilihan formal dari warga negara yang memenuhi syarat. Peserta pemilu dapat berupa perseorangan dan partai politik tetapi yang paling utama adalah partai politik. Partai politik mengajukan kandidat dalam pemilu untuk kemudian dipilih oleh rakyat.  
Pada zaman modern ini pemilu menempati posisi penting karena terkait dengan beberapa hal. Pertama, pemilu menjadi mekanisme terpenting bagi keberlangsungan demokrasi perwakilan. Ia adalah mekanisme tercanggih yang ditemukan agar rakyat tetap berkuasa atas dirinya. Perkembangan masyarakat yang pesat, jumlah yang banyak, persebaran meluas dan aktifitas yang dilakukan semakin beragam menjadikan komplesitas persoalan yang dihadapi rakyat semakin variatif. Kondisi tersebut tidak memungkinkan rakyat untuk berkumpul dalam satu tempat dan mendiskusikan masalah-masalah yang mereka hadapi secara serius dan tuntas. Akhirnya muncul demokrasi perwakilan sebagai keniscayaan dengan pemilu sebagai mekanisme untuk memilih wakilnya.
Kedua, pemilu menjadi indikator negara demokrasi. Bahkan, tidak ada satupun negara yang mengklaim dirinya demokratis tanpa melaksanakan pemilu sekalipun negara itu pada hakekatnya adalah otoriter. Ketika prespektif Schumpetarian tentang demokrasi, yaitu demokrasi sebagai “metode politik” mendominasi teorisasi demokrsai maka pemilu menjadi elemen paling penting dari ukuran negara demokrasi. Bahkan Prezeworski dan rekan-rekannya mendefinisikan demokrasi sebagai “sekedar rezim yang menyelenggarakan pemilihan-pemilihan umum untuk mengisi jabatan-jabatan pemerintahan” (dengan ketentuan bahwa persaingan yang sebenarnya mensyaratkan adanya oposisi yang memiliki kesempatan memenangkan jabatan publik, serta bahwa posisi kepala eksekutif dan kursi legislatif diisi melalui pemilu).[1]
Pemilu bukalanlah mekanisme yang sederhana dalam pemaknaan wujud dari demokrasi. Karena pemilu sendiri adalah “jalan dua arah “ yang disediakan untuk pemerintah dan rakyat, elit dan massa dengan adanya kesempatan untuk saling mempengaruhi. Sebagai “jalan dua arah” fungsi pemilu secara garis besar terumuskan dalam dua prespektif yaitu prespektif bottom-up dan top-down.[2] Dalam fungsi bottom-up diantaranya fungsi pemilu sebagai: pertama, sebagai rekruitmen politisi. Dimana individu yang mempunya kemampuan dan pengetahuan dibidang politik, dirinya bisa bergabung dengan partai politik. Dirinya bisa maju dalam pemilu, apabila partai politik tersebut menominasikan atau mencalonkan individu tersebut. Kedua, membentuk pemerintahan. Bagi negara yang menganut sisitem presidensil dapat membentuk pemerintahan secara langsung. Karena eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Namun di negara yang menganut sistem parlementer pemilu lebih mempengaruhi formasi pemrintah dimana derajat yang mempengaruhinya tergantung pada sistem pemilu yang digunakan. Ketiga, sarana membatasi perilaku dan kebijkan pemerintah. Para penguasa yang agendanya sudah tidak disenangi oleh rakyat, maka bisa dikontrol perilakunnya dalam pemilu periodik berikutnya. Dengan hukum, rakyat mengalihkan dukungan suara kepada kandidat atau partai lain yang dianggap bisa melakukan perubahan menuju yang lebih baik.
Sedangkan dalam prespektif top-down fungsi pemilu adalah: pertama, meberi legitimasi kekuasaan. Penguasa yang terplih dalam pemilu otomatis memiliki legalitas dan memiliki keabsahan untuk memerintah.  Kedua, sirkulasi dan penguatan elit. Sirkulasi elit dalam pemilu melalui tahap seleksi kandidat. Dan proses akhir dari sirkulasi elit adalah mereka yang duduk dalam jabatan eksekutif maupun legislatif. Ketiga, menyediakan perwakilan. Dengan pemilu rakyat dapat memiih wakil-wakil mereka yang akan menduduki jabatan pemerintahan. Dan wakilnya itu sebagai penyambung kepentingan rakyat atas berbagai permasalahan yang dihadapi rakyat. Keempat, sarana pendidikan politik. Dengan adanya pemilu yang langsung, terbuka, dan missal diharapkan bisa mencerdasakan pemahaman politk dan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai demokrasi.
Diluar fungsi pemilu sebagai “jalan dua arah”  yang lebih bersifat vertikal, terdapat juga fungsi pemilu dalam dimensi horisontal. Dalam dimensi horisontal pemilu berfungsi sebagai: pertama, arena pengelolaan konflik kepentingan. Karena dalam masyarakat setiap kepentingan orang berbeda-beda. Maka agar tidak terjadi anarkisme, konflik kepentingan itu ditransfer melali  berbagai lembaga perwakilan yang terdapat dalam negara demokrasi yang pembentukannya melalui pemilu. Kedua, sarana menciptakan kohesi dan solidaritas sosial. fungsi ini kelanjutan dari fungsi pemilu sebagai arena pengelolaan konflik. Dengan adanya transfer konflik ke lembaga-lembaga perwakilan, maka diharapkan perbedaan yang ada tidak menjadi fragmentasi sosial.
Melihat penjelasan diatas mengenai pengertian dan fungsi pemilu, bisa dimaknai  pemilu itu suatu momen yang sangat penting. Karena siapa yang bakalan menduduki jabatan di pemerintahan eksekutif maupun legislatif, merekalah yang menentukan keberlangsungan suatu pemerintahan. Oleh karena itu, suara yang diberikan kepada wakilnya saat pemilu menjadi hal yang harus benar-benar diperhatikan dan hati-hati. Karena itu yang menentukan maju dan merosotnya suatu negara kedepannya selama masa pemerintahannya. Dalam menentukan pilihannya, perilaku pemilu sendiri pasti di latarbelakangi oleh faktor-faktor tertentu yang mempengaruhinya. Untuk melihat perilaku pemilu dalam menentukan pilihannya. Saya akan menjelaskan dengan menggunakan pendekatan rational-choice dan pendekatan strukturalis.
Perilaku pemilu sendiri di latarbelakangi oleh pemikirannya yang secara rasional untuk menentukan pilihannya. Karena pada dasarnya seorang manusia mempunyai sikap yang kritis . Dimana pemilih dalam menentukan pilihannya terletak pada pilihan yang terbaik dan keuntungan  terbesar yang mereka dapatkan. Seperti halnya, pemilih menetapkan pilihannya pada kandidat atau partai tertentu. Karena pada saat periode pemerintahannya kandidat atau partai ini dianggap mampu menjalankan pemerintah dengan baik. Selain itu pemikiran ini juga atas dasar penelian kinerja pemerintah masa lampau. Apabila kandidat atau partai sekarang kinerjanya lebih baik dari pada pemerintahan sebelumnya, pasti akan dipilih kembali.
Sebagai contoh pemerintahan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pembangunan di Indonesia mengalami kemajuan signifikan. Pertumbuhan ekonomi misalnya, pada tahun 1998 minus 13.1 milliar dolar AS, pada tahun 2008 naik menjadi 69.1 persen. Tingkat kemiskinan juga berkurang. Pada tahun 1998, angka kemiskinan mencapai 24.2 persen. Pada awal Presiden SBY, tingkat kemiskinan turun menjadi 16.7 persen. Dan pada 2008 tinggal 15.4persen dari total penduduk Indonesia. utang kepada Dana Moneter Internsional (IMF) dipangkas habis pada masa pemerintahan SBY. Tengok saja pada tahun 1998, utang Indonesia kepada IMF sebesar 9.1 miliar dolar AS. Pada tahun 2006,  dua tahun setelah memimpin Indonesaia, Presiden SBY berhasil melunasi seluruh utang kita sebesar 7.8 miliar dolar AS.[3]
Dari melihat data diatas, bahwa pemerintahan Presiden SBY lebih baik dan memberikan perubahan dari pemerintahan pada era sebelumnya yaitu Presiden Megawati Soekarnoputri. Dimana Presiden Megawati Soekarnoputri dianggap gagal dalam masa pemerintahannya. Menutup lembaran tahun 2002, pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri mendapat penilaian kritis dari berbagai pihak. Pemerintahan Mega dinilai lemah dalam kepemimpinan, sistem pemerintahan, penegakan HAM, dan komunikasi politik. Di bidang ekonomi, pemerintah Megawati belum menunjukkan prestasi yang diharapkan. Penilaian itu datang dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di Bandung, dan pengamat politik Dr Amir Santoso.[4] Oleh karena itu, Presiden SBY dipilih lagi sebagai Presiden RI pada periode 2009-2014. Karena kinerjanya yang dianggap baik dan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Kerena pada dasarnya pemilih akan memberikan hak suaranya pada partai yang paling menjanjikan keuntungan bagi dirinya. Selain itu pemilih tidak peduli terhadap konsep politik yang dibawa suatu partai. Melainkan kepada keuntungan terbesar yang mereka dapatkan apabila partai itu berada dalam pemerintahan dan bisa menjamin kehidupannya. Pemilih juga menempatkan pilihannya apabila terdapat persamaan tujuan dan kepentingan yang ia miliki. Maka ia dapat melimpahkan perwakilan kepentingannya kepada partai politik yang dianggap sama dengan jalan pikirannya.
Namun saya kurang setuju terhadap penjelasan yang mengatakan bahwa pemilih dalam menentukan pilihannya dipengaruhi oleh pilihan yang terbaik dan keuntungan  terbesar yang mereka dapatkan. Seperti halnya, pemilih menetapkan pilihannya pada kandidat atau partai tertentu. Karena pada saat periode pemerintahannya kandidat atau partai ini dianggap mampu menjalankan pemerintah dengan baik. Sehingga dalam kehidupannya ia merasakan sejahtera pada saat itu.
Namun menurut pendapat saya perilaku para pemilih pada saat pemilu lebih dipengaruhi keterikatan dalam struktur sosial yang berda didalam masyarakat. Dimana ada faktor-faktor yang sangat penting yang bisa mempengaruhi pilihannya. Seperti agama, ideologi, kesamaan almamater, lingkungan dan tempat tinggal.
 Agama menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi perilaku pemilu. Karena negara Indonesia yang sebagian besar adalah pemeluk agama Islam. Maka mereka akan memilih kandidat-kandidat yang memang beragama Islam. Di kalangan partai politik, agama dapat melahirkan dukungan politik dari pemilih atas dasar kesamaan teologis, ideologis, solidaritas dan emosional. Fenomena partai yang berbasis agama dianggap menjadi daya tarik kuat dalam preferensi politik. Dalam literatur perilaku pemilih, aspek agama menjadi pengamatan yang penting. Pemilih cenderung untuk memilih partai agama tertentu yang sesuai dengan agama yang dianut. Di Indonesia faktor agama masih dianggap penting untuk sebahagian besar masyarakat. Misalnya seorang muslim cenderung untuk memilih partai yang berbasis Islam dan sebaliknya  seorang non-muslim cenderung untuk memilih partai non-muslim
Selain itu, ajaran agama Islam sendiri menegasakan, bahwa dalam memilih seorang pemimpin harus yang beragama Islam. Oleh karena itu ajaran yang seperti ini tidak bisa disangkal karena merupakan dogma yang harus diterima setiap orang, dipatuhi dan dijalankan. Kerena sudah menjadi pedoman hidup, seolah-olah tidak bisa keluar dari norma tersebut. Sehingga para pemilih memang benar-benar sudah terpengaruh pada ajaran yang diyakiniya tersebut. Sebagai contoh, bahwa selama ini Presiden Indonesia di jabat oleh orang Islam. Hal itu terjadi karena mayoritas pemeluk agama Islam dan para pemilih juga akan memilih yang beragama Islam. Karena apabila tidak memilh pemimpin yang beragama Islam, sama saja menyalahi norma yang menjadi pedoman hidup dan hal ini langsung dipertanggungjawabkan kepada Tuhan di akherat kelak. Sehingga manusia takut untuk melanggar karena bisa diganjar dosa, atas perbuatannya.
Selain agama, ideologi juga bisa mempengaruhi perilaku pemilu. Melihat latar belakang Indonesia, munculnya partai politik dengan berbagai ideologi menjadi keberagaman tersendiri. Pada saat pemerintahan Presiden soekarno, sebagai awal berdirinya bangsa Indonesia. Soekarno sendiri sudah berusaha menggabungkan ideologi-ideologi besar yang berada pada dimensi politik. Ideologi besar saat itu adalah nasionalis, agama, dan komunis. Lalu disatukan oleh Soekarno dengan nama NASAKOM, agar orang-orang didalamnya dapat bersatu dan tidak terpecah. Namun kenyataanya Soekarno gagal dalam mempersatukan ideologi-ideologi besar ini. Hingga saat ini, partai-partai di Indonesia masih menggunakan ideologi ini kecuali komunis. Hal ini sangat mempengaruhi perilaku pemilih dalam pemilu. Para pemilih akan memilih partai politik yang dianggap memiliki ideologi yang sama, pemikiran dan tujuan yang sama.
Kesamaan almamater juga sangat mempengaruhi perilaku pemilih. Karena pada dasarnya ikatan batin sangat kuat bagi orang yang berada dalam keluarga tersebut. Sebab keluarga menjadi lingkungan pertama manusia dalam berinteraksi dan disitu mulai ditanamkan nilai-nilai dan norma dalam kehidupan sosial. Sehingga watak dan pemikiran orang juga dipengaruhi oleh keluarga. Sebagai contoh, pada saat pemilu ada saudara yang mencalonkan dirinya sebagai calon legislatif. Meskipun dia tahu bahwa saudaranya tidak mempunyai kapabilitas dalam perpolitikan, tetapi dia tetap memilih saudaranya. Hal ini didasari ikatan batin yang sangat kuat.
Selain itu lingkungan tempat tinggal juga mempengaruhi prilaku pemilu.. Dimana individu setiap harinya melakukan aktivitas dilingkungan tersebut. Sehingga pola pikiran dan perilaku dipengaruhi oleh orang-orang dan keadaan lingkungan sekitar. Seolah-olah pola perilaku mereka sudah terstruktur akibat dari pengaruh lingkungan. Sebagai contoh, daerah Jawa Tengah sebagai basis partai PDIP. Hal ini dipengaruhi karena provinsi Jawa Tengah banyak memunculkan kader-kader terbaik partai berlambang banteng bermoncong putih. Oleh karena itu mayoritas penduduknya memilih partai tersebut. Secara tidak langsung pasti orang-orang yang berada di daerah tersbut juga memilih PDIP karena terpengaruh oleh lingkungannya.[5]
Pada intinya saya tidak setuju, bahwa perilaku pemilu yang hannya dilatarbelakangi oleh pilihan terbaik dan keuntungan yang ia dapatkan. Harus dimaknai sebagai patokan dalam melihat prilaku pemilihan umum. Meskipun pemilih berpikir secara rasional dalam menentukan pilihan. Namun terlihat manusia hanya sebagai obyek materi semata, dan kurang memperhatikan alturisme manusia. Karena seolah-olah manusia disandera hanya oleh motivasi keuntungan saja dalam melakukan tindakan.[6] Hal ini mengabaikan kenyataan bahwa manusia juga disisi lain bisa jadi bertindak berdasarkan pada motivasi kemanusian. Bisa saja manusia bertindak berdasarkan volunter dan keikhlasan yang terkait dengan kepercayaan nilai-nilai yang dianut dan dikhayati pelaku bersangkutan. Selain itu pemikiran yang seperti ini telah mengabaikan kemajemukan motif. Karena sebenarnya tindakan manusia bisa dipengaruhi beberapa faktor yang bersumber dari diri manusia dan faktor lingkungan yang mempengaruhi. Selain itu, sebenarnya tindakan manusia tidak terlepas pula dari struktur sosial masyarakat tersebut seperti (budaya, agama, ideologi, kesamaan almamater, dan lingkungan  tempat tinggal) dimana pelaku bersangkutan berada.

Bibliography


BUKU
Pamungkas, S. (2009). Perihal Pemilu . Yogyakarta: Laboraturium Jurusan Ilmu Pemrintahan dan Jurusan Ilmu Pemrintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.
Roth, P. D. (2008). Studi Pemilu Empiris. Jakarta: Friedrich-Naumman-Stiftung fur die Freiheit.
WEBSITE
http://www.presidenri.go.id/index.php/indikator/, diakses pada tanggal 28 Juni 2013 pukul 07.52 WIB.

http://www.suaramerdeka.com/harian/0212/29/nas1.htm, diakses pada tanggal 28 Juni 2013 pukul 08.18 WIB.










[1] Larry Diamond, dalam tulisan, Pamungkas, S. (2009). Perihal Pemilu . Yogyakarta: Laboraturium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, hal.3.

[2] Andrew Haywood, dalam tulisan, Pamungkas, S. (2009). Perihal Pemilu . Yogyakarta: Laboraturium Jurusan Ilmu Pemrintahan dan Jurusan Ilmu Pemrintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.

[3] http://www.presidenri.go.id/index.php/indikator/, diakses pada tanggal 28 Juni 2013 pukul 07.52 WIB.
[4] http://www.suaramerdeka.com/harian/0212/29/nas1.htm, diakses pada tanggal 28 Juni 2013 pukul 08.18 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar