Pemilu
adalah arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan
yang didasarkan pada pilihan formal dari warga negara yang memenuhi syarat.
Peserta pemilu dapat berupa perseorangan dan partai politik tetapi yang paling
utama adalah partai politik. Partai politik mengajukan kandidat dalam pemilu
untuk kemudian dipilih oleh rakyat.
Pada
zaman modern ini pemilu menempati posisi penting karena terkait dengan beberapa
hal. Pertama, pemilu menjadi mekanisme terpenting bagi keberlangsungan
demokrasi perwakilan. Ia adalah mekanisme tercanggih yang ditemukan agar rakyat
tetap berkuasa atas dirinya. Perkembangan masyarakat yang pesat, jumlah yang
banyak, persebaran meluas dan aktifitas yang dilakukan semakin beragam
menjadikan komplesitas persoalan yang dihadapi rakyat semakin variatif. Kondisi
tersebut tidak memungkinkan rakyat untuk berkumpul dalam satu tempat dan
mendiskusikan masalah-masalah yang mereka hadapi secara serius dan tuntas.
Akhirnya muncul demokrasi perwakilan sebagai keniscayaan dengan pemilu sebagai
mekanisme untuk memilih wakilnya.
Kedua,
pemilu menjadi indikator negara demokrasi. Bahkan, tidak ada satupun negara
yang mengklaim dirinya demokratis tanpa melaksanakan pemilu sekalipun negara
itu pada hakekatnya adalah otoriter. Ketika prespektif Schumpetarian tentang
demokrasi, yaitu demokrasi sebagai “metode politik” mendominasi teorisasi
demokrsai maka pemilu menjadi elemen paling penting dari ukuran negara
demokrasi. Bahkan Prezeworski dan rekan-rekannya mendefinisikan demokrasi
sebagai “sekedar rezim yang menyelenggarakan pemilihan-pemilihan umum untuk
mengisi jabatan-jabatan pemerintahan” (dengan ketentuan bahwa persaingan yang
sebenarnya mensyaratkan adanya oposisi yang memiliki kesempatan memenangkan
jabatan publik, serta bahwa posisi kepala eksekutif dan kursi legislatif diisi
melalui pemilu).[1]
Pemilu
bukalanlah mekanisme yang sederhana dalam pemaknaan wujud dari demokrasi.
Karena pemilu sendiri adalah “jalan dua arah “ yang disediakan untuk pemerintah
dan rakyat, elit dan massa dengan adanya kesempatan untuk saling mempengaruhi.
Sebagai “jalan dua arah” fungsi pemilu secara garis besar terumuskan dalam dua
prespektif yaitu prespektif bottom-up dan
top-down.[2]
Dalam fungsi bottom-up diantaranya
fungsi pemilu sebagai: pertama, sebagai rekruitmen politisi. Dimana individu
yang mempunya kemampuan dan pengetahuan dibidang politik, dirinya bisa
bergabung dengan partai politik. Dirinya bisa maju dalam pemilu, apabila partai
politik tersebut menominasikan atau mencalonkan individu tersebut. Kedua, membentuk
pemerintahan. Bagi negara yang menganut sisitem presidensil dapat membentuk
pemerintahan secara langsung. Karena eksekutif dipilih langsung oleh rakyat.
Namun di negara yang menganut sistem parlementer pemilu lebih mempengaruhi
formasi pemrintah dimana derajat yang mempengaruhinya tergantung pada sistem
pemilu yang digunakan. Ketiga, sarana membatasi perilaku dan kebijkan
pemerintah. Para penguasa yang agendanya sudah tidak disenangi oleh rakyat,
maka bisa dikontrol perilakunnya dalam pemilu periodik berikutnya. Dengan hukum,
rakyat mengalihkan dukungan suara kepada kandidat atau partai lain yang
dianggap bisa melakukan perubahan menuju yang lebih baik.
Sedangkan
dalam prespektif top-down fungsi
pemilu adalah: pertama, meberi legitimasi kekuasaan. Penguasa yang terplih dalam
pemilu otomatis memiliki legalitas dan memiliki keabsahan untuk
memerintah. Kedua, sirkulasi dan
penguatan elit. Sirkulasi elit dalam pemilu melalui tahap seleksi kandidat. Dan
proses akhir dari sirkulasi elit adalah mereka yang duduk dalam jabatan eksekutif
maupun legislatif. Ketiga, menyediakan perwakilan. Dengan pemilu rakyat dapat
memiih wakil-wakil mereka yang akan menduduki jabatan pemerintahan. Dan
wakilnya itu sebagai penyambung kepentingan rakyat atas berbagai permasalahan
yang dihadapi rakyat. Keempat, sarana pendidikan politik. Dengan adanya pemilu
yang langsung, terbuka, dan missal diharapkan bisa mencerdasakan pemahaman
politk dan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai demokrasi.
Diluar
fungsi pemilu sebagai “jalan dua arah”
yang lebih bersifat vertikal, terdapat juga fungsi pemilu dalam dimensi
horisontal. Dalam dimensi horisontal pemilu berfungsi sebagai: pertama, arena
pengelolaan konflik kepentingan. Karena dalam masyarakat setiap kepentingan
orang berbeda-beda. Maka agar tidak terjadi anarkisme, konflik kepentingan itu
ditransfer melali berbagai lembaga
perwakilan yang terdapat dalam negara demokrasi yang pembentukannya melalui
pemilu. Kedua, sarana menciptakan kohesi dan solidaritas sosial. fungsi ini
kelanjutan dari fungsi pemilu sebagai arena pengelolaan konflik. Dengan adanya
transfer konflik ke lembaga-lembaga perwakilan, maka diharapkan perbedaan yang
ada tidak menjadi fragmentasi sosial.
Melihat
penjelasan diatas mengenai pengertian dan fungsi pemilu, bisa dimaknai pemilu itu suatu momen yang sangat penting.
Karena siapa yang bakalan menduduki jabatan di pemerintahan eksekutif maupun
legislatif, merekalah yang menentukan keberlangsungan suatu pemerintahan. Oleh
karena itu, suara yang diberikan kepada wakilnya saat pemilu menjadi hal yang
harus benar-benar diperhatikan dan hati-hati. Karena itu yang menentukan maju
dan merosotnya suatu negara kedepannya selama masa pemerintahannya. Dalam
menentukan pilihannya, perilaku pemilu sendiri pasti di latarbelakangi oleh
faktor-faktor tertentu yang mempengaruhinya. Untuk melihat perilaku pemilu
dalam menentukan pilihannya. Saya akan menjelaskan dengan menggunakan
pendekatan rational-choice dan
pendekatan strukturalis.
Perilaku
pemilu sendiri di latarbelakangi oleh pemikirannya yang secara rasional untuk
menentukan pilihannya. Karena pada dasarnya seorang manusia mempunyai sikap
yang kritis . Dimana pemilih dalam menentukan pilihannya terletak pada pilihan
yang terbaik dan keuntungan terbesar
yang mereka dapatkan. Seperti halnya, pemilih menetapkan pilihannya pada kandidat
atau partai tertentu. Karena pada saat periode pemerintahannya kandidat atau
partai ini dianggap mampu menjalankan pemerintah dengan baik. Selain itu
pemikiran ini juga atas dasar penelian kinerja pemerintah masa lampau. Apabila
kandidat atau partai sekarang kinerjanya lebih baik dari pada pemerintahan
sebelumnya, pasti akan dipilih kembali.
Sebagai
contoh pemerintahan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pembangunan di
Indonesia mengalami kemajuan signifikan. Pertumbuhan ekonomi misalnya, pada
tahun 1998 minus 13.1 milliar dolar AS, pada tahun 2008 naik menjadi 69.1
persen. Tingkat kemiskinan juga berkurang. Pada tahun 1998, angka kemiskinan
mencapai 24.2 persen. Pada awal Presiden SBY, tingkat kemiskinan turun menjadi
16.7 persen. Dan pada 2008 tinggal 15.4persen dari total penduduk Indonesia.
utang kepada Dana Moneter Internsional (IMF) dipangkas habis pada masa
pemerintahan SBY. Tengok saja pada tahun 1998, utang Indonesia kepada IMF
sebesar 9.1 miliar dolar AS. Pada tahun 2006,
dua tahun setelah memimpin Indonesaia, Presiden SBY berhasil melunasi
seluruh utang kita sebesar 7.8 miliar dolar AS.[3]
Dari
melihat data diatas, bahwa pemerintahan Presiden SBY lebih baik dan memberikan
perubahan dari pemerintahan pada era sebelumnya yaitu Presiden Megawati
Soekarnoputri. Dimana Presiden Megawati Soekarnoputri dianggap gagal dalam masa
pemerintahannya. Menutup lembaran tahun 2002, pemerintahan
Presiden Megawati Soekarnoputri mendapat penilaian kritis dari berbagai pihak.
Pemerintahan Mega dinilai lemah dalam kepemimpinan, sistem pemerintahan,
penegakan HAM, dan komunikasi politik. Di bidang ekonomi, pemerintah Megawati
belum menunjukkan prestasi yang diharapkan. Penilaian itu datang dari Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia (PBHI), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di Bandung, dan pengamat
politik Dr Amir Santoso.[4] Oleh karena itu, Presiden
SBY dipilih lagi sebagai Presiden RI pada periode 2009-2014. Karena kinerjanya
yang dianggap baik dan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Kerena pada dasarnya pemilih akan memberikan hak suaranya
pada partai yang paling menjanjikan keuntungan bagi dirinya. Selain itu pemilih
tidak peduli terhadap konsep politik yang dibawa suatu partai. Melainkan kepada
keuntungan terbesar yang mereka dapatkan apabila partai itu berada dalam pemerintahan
dan bisa menjamin kehidupannya. Pemilih juga menempatkan pilihannya apabila
terdapat persamaan tujuan dan kepentingan yang ia miliki. Maka ia dapat melimpahkan
perwakilan kepentingannya kepada partai politik yang dianggap sama dengan jalan
pikirannya.
Namun saya kurang setuju terhadap penjelasan yang
mengatakan bahwa pemilih dalam menentukan pilihannya dipengaruhi oleh
pilihan yang terbaik dan keuntungan terbesar yang mereka dapatkan. Seperti halnya,
pemilih menetapkan pilihannya pada kandidat atau partai tertentu. Karena pada
saat periode pemerintahannya kandidat atau partai ini dianggap mampu
menjalankan pemerintah dengan baik. Sehingga dalam kehidupannya ia merasakan
sejahtera pada saat itu.
Namun menurut pendapat saya perilaku para pemilih pada saat
pemilu lebih dipengaruhi keterikatan dalam struktur sosial yang berda didalam
masyarakat. Dimana ada faktor-faktor yang sangat penting yang bisa mempengaruhi
pilihannya. Seperti agama, ideologi, kesamaan almamater, lingkungan dan tempat
tinggal.
Agama menjadi salah satu faktor
penting yang mempengaruhi perilaku pemilu. Karena negara Indonesia yang
sebagian besar adalah pemeluk agama Islam. Maka mereka akan memilih
kandidat-kandidat yang memang beragama Islam. Di kalangan partai politik, agama
dapat melahirkan dukungan politik dari pemilih atas dasar kesamaan teologis,
ideologis, solidaritas dan emosional. Fenomena partai yang berbasis agama
dianggap menjadi daya tarik kuat dalam preferensi politik. Dalam literatur
perilaku pemilih, aspek agama menjadi pengamatan yang penting. Pemilih
cenderung untuk memilih partai agama tertentu yang sesuai dengan agama yang
dianut. Di Indonesia faktor agama masih dianggap penting untuk sebahagian besar
masyarakat. Misalnya seorang muslim cenderung untuk memilih partai yang
berbasis Islam dan sebaliknya seorang
non-muslim cenderung untuk memilih partai non-muslim
Selain itu, ajaran agama Islam sendiri menegasakan, bahwa dalam
memilih seorang pemimpin harus yang beragama Islam. Oleh karena itu ajaran yang
seperti ini tidak bisa disangkal karena merupakan dogma yang harus diterima
setiap orang, dipatuhi dan dijalankan. Kerena sudah menjadi pedoman hidup,
seolah-olah tidak bisa keluar dari norma tersebut. Sehingga para pemilih memang
benar-benar sudah terpengaruh pada ajaran yang diyakiniya tersebut. Sebagai
contoh, bahwa selama ini Presiden Indonesia di jabat oleh orang Islam. Hal itu
terjadi karena mayoritas pemeluk agama Islam dan para pemilih juga akan memilih
yang beragama Islam. Karena apabila tidak memilh pemimpin yang beragama Islam,
sama saja menyalahi norma yang menjadi pedoman hidup dan hal ini langsung dipertanggungjawabkan
kepada Tuhan di akherat kelak. Sehingga manusia takut untuk melanggar karena
bisa diganjar dosa, atas perbuatannya.
Selain agama, ideologi juga bisa mempengaruhi perilaku
pemilu. Melihat latar belakang Indonesia, munculnya partai politik dengan
berbagai ideologi menjadi keberagaman tersendiri. Pada saat pemerintahan
Presiden soekarno, sebagai awal berdirinya bangsa Indonesia. Soekarno sendiri
sudah berusaha menggabungkan ideologi-ideologi besar yang berada pada dimensi
politik. Ideologi besar saat itu adalah nasionalis, agama, dan komunis. Lalu
disatukan oleh Soekarno dengan nama NASAKOM, agar orang-orang didalamnya dapat bersatu
dan tidak terpecah. Namun kenyataanya Soekarno gagal dalam mempersatukan
ideologi-ideologi besar ini. Hingga saat ini, partai-partai di Indonesia masih
menggunakan ideologi ini kecuali komunis. Hal ini sangat mempengaruhi perilaku
pemilih dalam pemilu. Para pemilih akan memilih partai politik yang dianggap
memiliki ideologi yang sama, pemikiran dan tujuan yang sama.
Kesamaan almamater juga sangat mempengaruhi perilaku
pemilih. Karena pada dasarnya ikatan batin sangat kuat bagi orang yang berada
dalam keluarga tersebut. Sebab keluarga menjadi lingkungan pertama manusia
dalam berinteraksi dan disitu mulai ditanamkan nilai-nilai dan norma dalam
kehidupan sosial. Sehingga watak dan pemikiran orang juga dipengaruhi oleh
keluarga. Sebagai contoh, pada saat pemilu ada saudara yang mencalonkan dirinya
sebagai calon legislatif. Meskipun dia tahu bahwa saudaranya tidak mempunyai
kapabilitas dalam perpolitikan, tetapi dia tetap memilih saudaranya. Hal ini
didasari ikatan batin yang sangat kuat.
Selain itu lingkungan tempat tinggal juga mempengaruhi
prilaku pemilu.. Dimana individu setiap harinya melakukan aktivitas
dilingkungan tersebut. Sehingga pola pikiran dan perilaku dipengaruhi oleh orang-orang
dan keadaan lingkungan sekitar. Seolah-olah pola perilaku mereka sudah
terstruktur akibat dari pengaruh lingkungan. Sebagai contoh, daerah Jawa Tengah
sebagai basis partai PDIP. Hal ini dipengaruhi karena provinsi Jawa Tengah banyak
memunculkan kader-kader terbaik partai berlambang banteng bermoncong putih. Oleh
karena itu mayoritas penduduknya memilih partai tersebut. Secara tidak langsung
pasti orang-orang yang berada di daerah tersbut juga memilih PDIP karena
terpengaruh oleh lingkungannya.[5]
Pada intinya saya tidak setuju, bahwa perilaku pemilu yang
hannya dilatarbelakangi oleh pilihan terbaik dan keuntungan yang ia dapatkan. Harus
dimaknai sebagai patokan dalam melihat prilaku pemilihan umum. Meskipun pemilih
berpikir secara rasional dalam menentukan pilihan. Namun terlihat manusia hanya
sebagai obyek materi semata, dan kurang memperhatikan alturisme manusia. Karena
seolah-olah manusia disandera hanya oleh motivasi keuntungan saja dalam
melakukan tindakan.[6]
Hal ini mengabaikan kenyataan bahwa manusia juga disisi lain bisa jadi
bertindak berdasarkan pada motivasi kemanusian. Bisa saja manusia bertindak
berdasarkan volunter dan keikhlasan yang terkait dengan kepercayaan nilai-nilai
yang dianut dan dikhayati pelaku bersangkutan. Selain itu pemikiran yang
seperti ini telah mengabaikan kemajemukan motif. Karena sebenarnya tindakan
manusia bisa dipengaruhi beberapa faktor yang bersumber dari diri manusia dan
faktor lingkungan yang mempengaruhi. Selain itu, sebenarnya tindakan manusia
tidak terlepas pula dari struktur sosial masyarakat tersebut seperti (budaya, agama,
ideologi, kesamaan almamater, dan lingkungan tempat tinggal) dimana pelaku bersangkutan berada.
Bibliography
BUKU
Pamungkas,
S. (2009). Perihal Pemilu . Yogyakarta: Laboraturium Jurusan Ilmu
Pemrintahan dan Jurusan Ilmu Pemrintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Gadjah Mada.
Roth, P. D. (2008). Studi Pemilu Empiris. Jakarta:
Friedrich-Naumman-Stiftung fur die Freiheit.
WEBSITE
http://www.presidenri.go.id/index.php/indikator/, diakses pada
tanggal 28 Juni 2013 pukul 07.52 WIB.
http://www.suaramerdeka.com/harian/0212/29/nas1.htm, diakses pada
tanggal 28 Juni 2013 pukul 08.18 WIB.
http://portal-hi.net/en/teori-teori-strukturalis/99-pokok-pokok-teori-rasional-choice, diakses pada
tanggal 28 Juni 2013 pukul 11.32 WIB.
http://www.tribunnews.com/2012/11/13/budiman-sujatmiko-calon-kuat-gubernur-jateng, diakses pada
tanggal 28 Juni 2013 pukul 18.16 WIB.
[1] Larry Diamond, dalam tulisan, Pamungkas,
S. (2009). Perihal Pemilu . Yogyakarta: Laboraturium Jurusan Ilmu Pemerintahan
dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada, hal.3.
[2] Andrew Haywood, dalam tulisan, Pamungkas,
S. (2009). Perihal Pemilu . Yogyakarta: Laboraturium Jurusan Ilmu
Pemrintahan dan Jurusan Ilmu Pemrintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Gadjah Mada.
[3] http://www.presidenri.go.id/index.php/indikator/, diakses pada tanggal 28 Juni
2013 pukul 07.52 WIB.
[4] http://www.suaramerdeka.com/harian/0212/29/nas1.htm,
diakses pada tanggal 28
Juni 2013 pukul 08.18 WIB.
[5] http://www.tribunnews.com/2012/11/13/budiman-sujatmiko-calon-kuat-gubernur-jateng, diakses pada tanggal 28 Juni
2013 pukul 18.16 WIB.
[6] http://portal-hi.net/en/teori-teori-strukturalis/99-pokok-pokok-teori-rasional-choice, diakses pada tanggal 28 Juni
2013 pukul 11.32 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar