Kamis, 23 Januari 2014

Birokrasi di Persimpangan Jalan

Birokrasi di Persimpangan Jalan

Seperti yang kita ketahui bahwa birokrasi mempunyai peranan yang sangat vital dalam penyelenggaraan negara. Dimana birokrasi sebagai sebuah institusi yang memiliki struktur kepegawaian yang ditata secara sistemik, dapat bekerja efektif dan efisien sebagai pelayan publik. Sehingga dalam kinerjanya birokrasi harus netral dan seobyektif mungkin. Sehingga yang namanya birokrasi harus terbebas dari kepentingan pribadi dan interest group. Selain itu birokrasi harus bersih dari unsur politik. Walaupun pada kenyataannya hal itu sulit di wujudkan. Mengingat birokrasi sebagai sebuah institusi yang biasanya di tumpangi elit-elit politik di dalamnya untuk menjalankan keputusan-keputusan politik sebagai instrument kebijakan.
Pembahasan mengenai birokrasi sendiri tidak terlepas dari konsep-konsep birokrasi hasil pemikiran Max Weber. Dimana Max Weber memandang birokrasi dengan konsep idealnya. Weber memandang birokrasi rasional sebagai unsur pokok dalam proses rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh lebih penting dari seluruh proses sosial. proses rasionalisasi ini mencakup ketepatan dan kejelasan yang dikembangkan dalam prinsip-prinsip memimpin organisasi sosial.[1] Sehingga dari pemikiran Weber tersebut menghasilkan karakteristik yang ideal dalam birokrasi sebagai berikut:
1.      Para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya menjalankan tugas-tugas impesroanal sesuai dengan jabatan mereka.
2.      Terdapat hirarki jabatan yang jelas.
3.      Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas.
4.      Para pejabat diangkat berdsarkan suatu kontrak.
5.      Para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi professional, idealnya didasarkan pada suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalu ujian.
6.      Para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi hak-hak pensiun. Gaji bersifat berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat selalu dapat menempati posnya, dan dalam keadaan tertentu, pejabat juga dapat diberhentikan.
7.      Pos jabatan adalah lapngan kerja pokok bagi para pejabat.
8.      Suatu struktur karis dan promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian (merit), serta menurut pertimbangan keunggulan (superior).
9.      Pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatan maupun dengan sumber-sumber yang tersedia dalam pos tersebut.
10.  Pejabat tunduk dalam sistem disiplin dan kontrol yang seragam.[2]
Sepuluh ciri dari tipe birokrasi yang ideal ini, murni, atau paling rasional yang dikenalkan oleh Max Weber ini merupakan jenis staf administratif yang seringkali diacukan pada tout court (sebuatan pasangannya) sebagai ‘birokrasi’. Masalah tersebut merupakan satu-satunya pernyataan terpenting dalam ilmu-ilmu sosial, yang memiliki pengaruh sangat besar.[3]
Sehingga kita bisa mengetahui permasalahan yang melatarbelakangi tidak berjalannya dengan baik konsep birokrasi yang di tawarkan oleh Weber. Karena permasalahannya jelas dari para birokrat itu sendiri. Disamping itu karena tidak adanya jarak pemisah yang jelas antara ranah politik dan ranah administrasi. Sehingga elit-elit politik yang mempunyai kepetingan dapat masuk dengan leluasa kedalam lingkup birokrasi tersebut. Hal ini yang mengakibatkan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan birokrasi tidak disesuaikan dengan kepetingan masyarakat, melainkan kepentingan elit-elit politik tersebut. Dan dalam proses pembuatan kebijakan, birokrasi seringkali di jadikan sebagai instrumen untuk melakukan tukar-menukar keuntungan politik. Bentuk tukar-menukar keuntungan dapat berupa konsesi kebijakan, janji kebijakan, dan konsepsi proyek dalam implementasi kebijakan.
Birokrasi juga dihadapkan lagi dengan permasalahan masuknya nilai-nilai demokrasi yang menganggu penugasan para birokrat. Pertama, dimana birokrasi bisa di kontrol politisi, tapi juga diminta bebas dari intervensi. Kedua, birokrasi diharapkan menjadi pelaksana kebijakan yang diambil para politisi, tapi juga diminta untuk terlibat dalam formulasi kebijakan. Ketiga, birokrasi diharapkan terlibat dalam formulasi kebijakan, tapi juga diminta untuk netral secara politik. Kuatnya kontrol  politisi menimbulkan tekanan yang kuat terhadap birokrat. Sehingga secara tidak langsung birokrat akan masuk kedalam ranah politik. Permasalahan ini juga menimbulkan adanya pola patron-klien dalam birokrasi. Hal ini yang menjadi pertanyaan, dimanakah netralitas birokrasi. Ketiga hal ini yang menjadikan kontradiksi dan ambigunitas dari peran birokrasi dalam banyak hal. Karena peran birokrasi yang tidak pernah didefinisikan secara jelas, baik dalam ranah politik maupun dalam ranah non politik.
Permasalahan yang tidak kalah penting dalam birokrasi adalah struktur birokrasi itu sendiri. Dimana struktur birokrasi yang terlalu gemuk mengakibatkan kurang efektif dan efisien dalam kinerjanya. Banyaknya pegawai/ birokrat yang di rekrtut menjadikan birokrasi tidak berfungsi secara makasimal. Hal ini dikarenakan pada proses perekrutan pegawai, terkadang pemerintah kurang memperhatikan standar calon para pegawai tersebut. Mereka hanya melihat dari kedekatan orang yang ada didalamnya. Sehingga seringkali pegawai yang direkrut tidak mempunyai loyalitas dan tidak berkompeten di bidangnya. Permasalahan ini berujung pada adanya praktek-praktek KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) baik dalam perekrutan maupun dalam kinerjanya birokrasi itu sendiri. Selain itu gemuknya struktur yang terdapat dalam birokrasi, mengakibatkan banyaknya pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah untuk menggaji para birokrat tersebut. Dampaknya berujung pada banyaknya APBN yang dikeluarkan oleh negara.
Melihat banyaknya permasalahan dalam birokrasi mulai dari netralitas birokrasi yang dipertanyaakan, karena terpangaruh oleh ranah politik, gemuknya sistem birokrasi, dan praktik-praktik KKN. Membuat birokrasi jauh dari cita-cita tipe idealnya. Oleh karena itu, harus adanya reformasi birokrasi dan hal ini seharusnya menjadi pilihan pemerintah. Tanpa mereformasi birokrasi, maka akan semakin sulit bagi pemerintah untuk mengerakan roda pembangunan kearah yang lebih fokus dan lebih baik.
Reformasi di Indonesia sebagai perubahan tanpa merusak (to change without destroying) atau perubahan dengan memelihara (to change while preserving), merupakan perubahan yang berdimensi restrukturisasi, revitalisai dan refungsionalisasi. Restrukturisasi adalah tindakan untuk mengubah struktur yang dipandang sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman dan dianggap tidak efektif lagi dalam memajukan organisasi. Revitalisasi merupakan upaya untuk memberikan tambahan energy atau daya kepada organisasi agar kinerjanya dapat lebih optimal. Revitalisasi akan berakaitan dengan perumusan kembali uraian tugas, kewenangan, alokasi anggaran dan pembahasan isntrumen. Refungsionalisasi lebih berkaiatan dengan tindakan atau upaya untuk mengfungsikan kembali sesuatu yang sebelumnya tidak berfungsi.[4]
Apabila kita melihat dari aspek kelembagaan, merupakan kajian yang menyangkut struktur organisasi, dan fungsi-fungsi dalam menjalankan kegitannya. Dari sini dapat diberikan solusi:
1.      Merampingkan birokrasi, termasuk didalamnya lembaga-lembaga pengawas yang ada. Dengan perampingkan struktur birokrasi, diharapkan kelambanan gerak birokrasi dapat teratasi. Perampingan birokrasi merupakan suatu keharusan sebagai cirri birokrasi yang modern.
2.      Pengutan lembaga-lembaga kontrol diluar sistem. Reformasi dalam bidang kelembagaan ini sifatnya harus sangat “revolutif” atau paradigmatik, artinya harus cepat dan sifatnya beubah 180 derajat dibanding dengan kondisi yang ada saat ini. Reformasi berikutnya adalah bagaimana member penguatan (empowering) terhadap society (masyarakat) dihadapam state (negara). penguatan ini sangat penting dalam menciptakan model pemrintahan yang bersih dan mempunyai komitmen yang kuat terhadap kepentingan publiknya.
3.      Independensi lembaga judikatif. Sebagai lembaga penegak hukum ini betul-betul harus independen. Dengan begitu, ketika dia melakukan pengawasan (refree) atau sedang memproses sebuah kasus (law enforcement) akan mampu bertindak tegas tanpa pandang bulu. Harapan selanjutnya datang dari masyarakat dan pers untuk melakukan pengawasan secara konkret.[5]
Meskipun dalam pengawasan kinerja birokrasi sudah ada lembaga internal yang mengawasi. Namun hal ini dinilai kurang, tetap harus ada lembaga pengawasan melekat maupun independen (ekstern). Kontrol ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang secara organisasi/structural berada di luar pemrintah dalam arti eksekutif. Seperti KPK( Komisi Pemberantasan Korupsi), Komisi Yudisial (KY), Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, Komisi Ombudsman Nasioanal, Komnas HAM, dan komisi lainnya yang memang dirancang untuk membantu pemerintah menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Lembaga tersbut dapat membantu masyarakat dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang terkait dengan aparatur pemerintah, pejabat public, yang selama ini dianggap kebal hukum bahkan tidak tersentuh hukum.[6]
Sedangakan untuk meningkatkan kinerja pegawai birokrasi dalam pelayanan publik. Maka pemerintah menerbitkan regulasi (peraturan peundang-undangan) yang mengatur kedudukan, kewajiban, hak dan pembinaan Pegawai Negri berupa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 yang kemudian diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian yang titik beratnya diarahakan pada prestasi kerja.
Dalam kaiatan ini, untuk mengetahui seberapa profesional para PNS (sejalan dengan reformasi dan seberapa besar perbedaan tingkat kemampuan, ketrampilan,dan pengetahuan pegawai, serta untuk memperoleh aparat yang memilki tingkat kompetitif yang tinggi) ialah dengan melakukan penilaian atas semua prilaku dengan kegiatannya dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sehari-hari.[7] Dengan adanya upaya reformasi ini, semoga bisa meningktakan kinerja birokrasi dalam pelayanan publik. Serta membersihkan permsalahan-permasalahan lama yang ada di dalam birokrasi itu sendiri.














Bibliography

Buku:
Albrow, M. (2005). Birokrasi . Yogyakarta: Tiara Wacana.
Jeddawi, D. M. (2008). Reformasi Birokrasi, Kelembagaan, dan Pembinaan PNS. Jakarta Selatan: Kreasi Total Media.





[1] Albrow, M. (2005). Birokrasi . Yogyakarta: Tiara Wacana. hal. 42.

[2] WuG, hlm. 126-7; Henderson and Parsons, op. cit., hlm. 334. Dalam,  Albrow, M. (2005). Birokrasi . Yogyakarta: Tiara Wacana. hal. 43-45.

[3] Loc. cit.
[4] Sarundajang, 2003. Dalam, Jeddawi, D. M. (2008). Reformasi Birokrasi, Kelembagaan, dan Pembinaan PNS. Jakarta Selatan: Kreasi Total Media.

[5] Ibid. hal. 99.
[6] Ibid. Hal. 78-79.
[7] Ibid. Hal. 26.

1 komentar:

  1. Best Casino Apps in CO 2020 - Mapyro
    What is the best casino 의정부 출장샵 app in 서울특별 출장샵 CO 2020? · 1. RedDog Casino · 2. Bovada Casino · 3. InterTops Casino · 4. 전주 출장샵 BetMGM Casino · 5. Slotocash Casino · 6. Vegas Slots Casino 동해 출장마사지 · 구미 출장안마 7. Play

    BalasHapus