Jumat, 11 Juli 2014

Berdikari Untuk Melawan

Sumber Foto: www.solopos.com
Berdikari Untuk Melawan

A.    Latar Belakang
Digulirkannya rencana besar mengenai “tambang pasir besi” di daerah Kulon Progo Yogyakarta, merupakan sebuah ancaman bagai warga pesisir pantai yang kegiatannya bertanam. Dimana masyarakat menentang keras adanya penambangan tersebut. Walaupun Pemerintah Daerah menilai, hal ini sebagai sebuah kemajuan suatu pembangunan dan dapat menambah kesejateraan masyarakat. Namun berbeda tanggapannya dengan warga yang berada di pesisir pantai. Adanya penambangan pasir besi hanyalah untuk kepentingan sebagaian elit dan para pemodal. Dimana mereka akan mengeruk sumber daya alam ada untuk memperoleh keuntungan yang besar. Selain itu dampak kerusakan lingkungan yang akan pasti terjadi. Permasalahan ini yang menjadikan warga tetap bersikeras menolak adanya penambangan.
Adanya pemerintah untuk melindungi hak warganya, malah berbanding terbalik dengan didukungnya program ini. Sebuah legitimasi yang pada ujungnya juga tentang pemerasan, permainan antar negara yang melibatkan pemodal-pemodal besar yang juga untuk, lagi-lagi membatasi dan memeras individu-individu bebas yang seharusnya memiliki hak untuk mengapresiasikan dan membebaskan dirinya menikmati kehidupan yang setara tanpa ditakuti oleh aturan-aturan yang membatasi di kebun-kebun, di bangunan proyek-proyek megah, di pabrik dan sebagainya. Semua sama yaitu, Korban dari sebuah aturan yang dibuat penguasa.[1]
kekecewaan ditambah lagi ketika seorang tokoh agama dan konsen di sebuah lembaga sosial independen. Dia melakukan pembenaran atas apa yang dilakuakan oleh pemerintah dan kaki tangannya, padahal dia tidak tahu situasi yang sebenarnya terjadi. Hal ini diperparah lagi saat tokoh agama tersebut mengatakan tindakan warga pesisir untuk menentang penambangan itu sebuah tindakan tidak benar dan menentang agama.
Meskipun demikan warga pesisir tetap menolak keras adanya penambangan pasir besi. Mereka akan mempertahankan apa yang menjadi haknya meskipun harus bersitegang terhadap orang yang mendukung adanya penambang pasir besi. Bagi para warga menolak merupakan sebuah harga mati yang tetap harus dipertahankan. Walaupun pada saat itu juga mereka sudah memikirkan, pasti terdapat ancaman dan teror yang akan didapatkan.
B.     Rumusan Masalah
Bagaiaman upaya yang dilakukan para petani lahan pesisir pantai untuk menolak adanya penambangan pasir besi di Kulon Progo ?
C.    Jawaban Konseptual
Teori strukrutal-konflik menekankan bahwa adanya permasalahan dalam masyarakat dikarenakan ada beragam struktur ketidaksetaraan, dan bermacam kemudahan yang mereka anggap tersebar tidak merata. Kemudahan yang dimaskud adalah adanya berbagai kelompok yang bisa memiliki kekuasaan, wewenang, prestise, kekayaan, atau kombinasi unsur-unsur tersebut dengan kemudahan yang lainnya. Hal ini memiliki pengertian bahwa asal-usul dan presistensi struktur ketidaksetaraan terletak pada dominasi atas kelompok-kelompok yang beruntung. Karena teori ini beranggapan, yang melekat pada masyarakat yang tidak setara adalah konflik kepentingan yang tak terhindari antara “yang berpunya” dan “tidak berpunya”. Seperti dikatakan Wes Sharrock (1977).[2]
Selain menggunakan teori sturkturak-konflik dalam melihat permasalahan ini penulis juga menggunakan teori tindakan. Damana teori tindakan menekankan bahwa kita memutuskan apa yang kita lakukan sesuai dengan interpretasi kita mengenai dunia di sekeliling. Karena tidakan merupakan produk dari suatu keputusan untuk bertindak, sebagai hasil dari pemikiran. Lebih lanjut, ini adalah pilihan pruposif, atau berorientasi pada tujuan. Menggunakan teori tindakan untuk kepentingan ini berarti memilih apa yang dilakukan sesuai dengan situasi yang sedang dialami.[3]
Kedua teori ini yang mendasari penulis dalam melihat masalah tambangan pasir besi yang berada di Kulon Progo. Adanya konflik yang terjadi di lahan pesisir pantai daerah Kulon Progo diakarenakan adanya perbedaan kepentingan antara warga, pemilik modal dan pemerintah. Dimana masyarakat daerah pantai tidak mau apabila kehidupannya diusik, mereka sudah cukup sejahtera dengan kegiatan bercocok tanamannya. Sedangkan dari pihak pemodal melihat adanya sumber daya yang dapat diolah menjadi bernilai lebih. Selain itu dengan adanya penambangan secara tidak langsung memajukan pembangunan dan dapat membuka lapangan pekerjaan bagi warga sekitar. Dalam kasus ini adanya kebijakan pemerintah yang mendukung adanya penambangan pasir besi merupakan pukulan keras bagi warga pantai. Terlihat pemerintah yang memiliki kuasa berhak menentukan pilihannya selagi bisa menguntungkan bagi dirinya. Adanya struktur ketidaksetraan dalam masyarakat hal ini yang akan memicu timbulnya konflik. Suatu pilihan sikap atau tindakan untuk mempertahankan kepentingannya dengan berbagai macam cara harus ditemput. Hal ini juga yang dialami oleh petani lahan pesisir pantai. Dimana mereka akan berupaya keras untuk mempertahankan hak dan wilayahnya.
D.    Metode Pencarian Data
Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan dalam penulisan saya menggunakan cara study literature dengan membaca sumber-sumber terkait mengenai “tambang pasir besi”.
E.     Pembahasan
Berawal pada tahun 2007, dimana terjadi pergolakan di pesisir terpencil yang awalnya indah dan damai. Pada saat itu mulai digulirkannya mega proyek penambangan pasir besi yang diprakarsai negara dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Kulon Progo. Dimana program ini tidak akan berjalan apabila hanya dilakukan oleh pemerintah, sehingga mereka bekerjasama dengan para pemilik modal, baik lokal maupun asing. Namun yang menjadi perhatian, bahwasannya yang menyediakan modal lokal justru keluarga orang nomor satu di Provinsi Yogyakarta. Sehingga masyarakat pun terkejut mengetahu hal ini. Akibatnya masyarakat sudah tidak percaya lagi terhadap pihah kraton. Pihak kraton yang selama ini di nilai baik, kenyataannya mereka tidak dapat melihat dan merasakan ketika sebenarnya rakyat merasa sudah sejahtera anpa perlu pertambangan pasir besi.
Kebencian masyarakat terhadap program yang digulirkan pemerintah semakin menjadi. Ketika ada sekolompok orang berasal dari Universitas Gadjah Mada (UGM) masuk ke desa Garongan. Dimana kedatangan mereka tidak sopan dan menempati rumah warga yang dituakan tanpa permisi. Secara tidak langsung telah melanggar etika adat desa tersebut. Ditambah lagi tujuan kedatangannya untuk memetakan wilayah yang akan dijadikan areal pertambangan. Setelah ditelusuru, ternyata mereka adalah utusan dari perusahaan tambang. Sehingga masyarakat langsung mengusir sekelompok orang tadi. Dan ini sedikit peristiwa sebagai awal perlawanan petani pesisir Kulon Progo.
Untuk menolak adanya tambang pasir besi. Akhirnya para petani bersepakat untuk membentuk “Paguyuban Petani Lahan Pantai” (PPLP) Kulon Progo pada tanggal 1 April 2007. Adanya rapat forum paguyuban mengenai tambang pasir besi, alhasil petani menyatakan “Menolak tambang pasir besi adalah harga mati”.
Akibatnya pada tanggal 27 Oktober 2008 kampung pesisir diserang oleh segerombolan orang-orang berseragam hitam berikat tangan warna putih. Merekan dengan membabi buta merusak bahkan membakar pos ronda, rumah warga. Ironisnya dalam kejadian itu ada aparat penegak hukum (polisi) hanya diam saja. Walaupun pada akhirnya sebagaian kecil gerombolan tadi ditangkap, walaupun tidak memalui proses yang jelas. Dan pada akhirnya pengadilan hanya memutuskan hukuman 6 bulan dengan masa percobaan 4 bulan. Tindakan criminal yang jelas dilakukan di depan aparat penegak hukum, justru mendpat keringanan hukuman. Sangat tidak adil bagi para warga pesisir, seolah-olah siapa yang mempunyai kuasa berhak mengatur seenaknya hidup ini.
Selain itu permasalahan tambah memanas. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 3 Mei 2009 pukul 18.30 WIB.  Saat seorang petani bernama Tukijo  dari Desa Karangewu (salah satu desa di pesisir Kulon Progo) mendatangi rumah seorang kepala dusun Karangsewu, Galur, Kulon Progo. kedatangan Tukijo sekedar menanyakan tentang data pencatatan tanh pesisir yang diklaim sebagai tanah pakualam dan akan dibuatkan Magersari yang artinya surat Kekancingan dari Pakualam. Karena hanya bertanya seperti ini, Tukijo langsung dikriminalkan oleh perangkat desa tersebut. Dan anehnya lagi penegak hukum mau menindaklanjuti proses hukumnya. Lagi-lagi disini ditemukan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan oleh aparat penegak hukum.
Adanya usaha untuk menggarapa proyek ini sangat terlihat dengan adanya negara berkolaborasi dengan korporasi. Bagaimana AMDAL (Analisi Mengenai Dampak Lingkungan) tentang proyek yang akan dijalankan, bisa muncul tanpa ada persetujuan dari pihak masyarakat. dalam hal ini petani tidak akan pernah terpengaruh dengan situasi seperti ini. justru petani semakin tahu dan paham bahwa sampai hari ini ternyata yang namanya pemerintah tetap saja berpihak kepada pemodal daripada moral rakyat.
Sebenarnya dahulu tanah yang berada di pesisir pantai adalah tanah yang tidak produktif. Namun atas usaha yang diawalah oelh Sukarman muda yang berasal dari Desa Bugel 2, Oanjatan, Kulon Progo. Dimana dia melihat tumbuhan cabai tigi biji tanpa dirawat-dipupuk ternayat dapat tumbuh dengan baik.  akhirnya Sukarman mencoba mempraktikkan sesuatu yang selama ini dia pikirkan. Sukarman mulai menanm cabai di lahan pasir pesisir yang sangat panas. Selain itu Pak Karman membuat sumur brunjung, semacam tabung panjang 4-5 meter dengan diametr sekitar 80-100 sentimeter. Dari ini semua selama kuramg lebih 70 hari Pak Karman akhirnya bisa memanam hasil dari tanaman cabe tersebut.
Dari Sukarman muda yang berhasil mengolah dan menemukan inovasi tanaman cabai di lahan pesisir panati selatan pada tahun 1985-an, maka sampai sekarang menjadi tumpuhan hidup seluruh petani di pesisir selatan pnati Kulon Progo yang di era ini lebih dari 10.000 kepala keluarga yang hidup dan berpenghidupan di pesisir pantai Kulon Progo. [4]
Namun kenyamanan  dan kesejahteraan dalam bertani kini telah di usik dengan bergulirnya penambangan pasir besi. Dalam hal ini PPLP-KP berusah keras untuk menolak adanya tambang pasir besi. Usaha yang dilakukan pun bermacam-macam. Mulai dari usah untuk meningkatkan pertanian dan melakukan inovasi-inovasi dalam bertani. Dimaksudkan agar pemerintah tahu, pertanian kami pun maju dan swadaya, oeleh karena itu janganlah di ganggu dengan adanya tambang pasir besi.
Adanya inovsi bertanam dengan sistem tanam tumpang sari, yaitu dianatara tanaman cabai ditanami sayuran lain yang tidak mengganggu tanaman pokok cabai. Tidak hanya itu, petani juga berhasil membuat dan mempraktikkan ide tentang bagaimana mengamankan tanaman dari hempusan angin pantai yang sangat kencang dan bercampur dengan uap air laut yang kurang bermanfaat bagi tanaman. Caranya dengan menanam tumbuhan yang tidak menganggu tanaman cabai atau sayur. Misalanya menanam pohon kelor dengan cara ditanami di bagian tepihan lahan dengan jarak 1 meter anatr pohon.
Yang dulu sumber pengairan dibuat melalui bis beton, saat ini berkembang sumur-sumur pertanian yang sudah menggunkan sumur suntik/bor. Juga dengan psoses pengairan. Proses pengairan pun berubah yang dulunya mengambil dari sumur dan disiram langsung ketanaman. Kini berubah dengan ditemukannya model sumur rentang yaitu suatu sumjur induk, terus dialirkan melalui media yang waktu itu menggunkan bambu yang dilubangi di tiap-tiap ruasnya. Namun kini sudah berganti menggunakan pipa paralon dengan diameter 1,5 sampai 2 inci. Dimana inovasi pengairan model sistem renteng merupakan variasi ketiga yang sebelumnya menggunakan model pengairan tadah hujan dan pengairan aliran air/sungai.
Selain itu bentuk perlawanan sebagai adanya penolakan tambang pasir besi. Dimana dalam mengatasi berbagai gejolak di masyarakat tentang penjualan cabai setelah pasca panen. Petani membentuk yang namanya pasar lelang cabai.  Dimana hasil panen dari berbagai petani dukumpulkan menjadi satu dpasar tesebut. Dimana para pedagang unutk membeli akan mendatangi pasar tersebut. hal ini dilakukan untuk mengantisipasi tidak terjualnya hasil panen cabai, dan harga yang murah akibat adanya tengkulak-tengkulak yang ingin mendapatkan keuntungan besar. Dengan adanya pasar lelang cabai pedagang juga merasa diuntungkan dan puas. Karena mereka bisa mendapatkan cabai-cabai yang segar langsun dipanen dari lahannya. Alhasil sekarang ada sekitar 23 pasar lelang yang tersebar di penjuru wilayah pesisir pantai Kulon Progo, yaitu di Pedukauhan Trisik Banaran 1 kelompok pasar lelang, Desa Karangsewu 4 kelompok pasar lelang, Desa Bugel 2 kelompok pasar lelang, Desa Garongan 5 kelompok pasar lelang, Desa Pleret 1 kelompok pasar lelang, Desa Karangwuni 4 kelompok pasar lelang dan desa Macanan sebanyak 3 kelompok pasar lelang.
Keberhasilan petani pesisir pantai ini sangat langka dan bijaksana, sehingga semua ini mendapatkan perhatian dari pemerintah yaitu dinas pertanian. Sehingga terkesan negara atau pemerintah ini hanya bisa mengklaim keberhasilan sebuah kelompok masayarkat dan sekaan-akan itu adalah keberhasilan mereka dan sebagai binaan mereka. Para petani disini mengelola dan menghidupkan sistem perekonomian dengan cara mandiri dan swakelola.
Ketidakadilan yang selalu terbangun di negara ini, bukti bahwa memang hari ini negara selalutidak bisa memberikan hak-hak rakyatnya. Negara yang selalu mentasbihkan diri sebagai negara agraris tetapi mengingkari agrarian dan para petani-petaninya. Secara sudut pandang yang lebih nyata bahwa perputaran uang di sini sanagat bisa langsung dinikmati masyarakat secara langsung. Sebagai petani yang bisa dikatakan kami adalah petani gurem. Petani yang lahannya garapannya tidak tidak lebih dari 1 hektar, akan tetapi kami bisa menghidupi dan bisa memenuhi kebutuhan, yang tentunya dengan berbagai cara dan sistem yang kami kelola bersama.[5]
Petani menganggap bahwa jeas-jelas dirinya sudah dirugikan oleh negara dengan adanya penambangan pasir besi yang sebenarnya tidak diinginkan kedatangannya dan tidak dibutuhkan sama sekali.
Birokrat dan pejabat yang selalu membuat dan mengesahkan undang-undang yang memperlancar modal dan investasi teknokrat yang selalu ingin mempengaruhi cara pandang dan metode petani dalam berpikir, bahwa harta adalah “Tuhan” dan itu nomor 1. Kami tidak akan terpenagaruh dengan arus moedernsasi model-model kapitalisme. Kami akan buktikan bahwa tidak selamanya petani bodoh dan miskin.[6]
Dengan kepercayaan dan semangat yang tak gentar, petani menanamkan prinsipi bahwa menanam adalah melawan bentuk penindasan atas kehidupan kami.
Permasalahan ini diperparah lagi dengan masuknya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang membela atas nama rakyat. Namun pada kenyataanya, banyak dari mereka yang justru nurut pada siapa yang memeberikan pendanaan. Banyak juga lembaga swadaya masyarakat itu adalah bentukan ataupun pendanaannyajustru dari para musuh rakyat, sangat mengerikan sekali. Dengan slogan dan retorika yang sangat idealis, eh, ternyata juga justru ikut membela kepentingan pemodal.
Karena hal ini akhirnya para warga lebih selektif untuk memilih kawan dan lawan. Selektivitas dimakanai sebagai wujud waspada terhadap para penyusup dan agen-agen musuh – musuh yaitu pemodal tambang dan pemerintah negara yang melanggar aqidah dan aturan serta mengkhianati rakyat. selain itu banyaknya para mahasiswa dan akademisi yang datang untuk mengtahui situasi dan kondisi pada saat itu. Namun ujung-ujungnya mereka juga tidak bisa melakukan perubahan atas permasalahan ini. kebanyakan dari mereka datang untuk melakukan penelitian guna kepentingan pribadi. Seniman, budayawan juga ternyata tidak jauh berbeda tingkahnya. Hanya pandai berbicara, namun juga tidak bisa merubah kondisi yang ada. Sebagai bukti adanya sebuah pernyataan bahwa “kasus Kulon Progo tidak akan selesai sebelum malaikat turu di sana”.
Setiap kali aksi sebagi suatu bentuk langkah untuk melakukan penolakan merupakan hal yang sudah biasa bagi warga pesisir pantai. Namun pada kesempatan ini tergali sebuah ide untuk bagiamana kita melakukan kampanye yang lebih lembut dan mungkin juga lebih enak untuk dinikmati banyak orang, walaupun merupakan sebuah bentuk “perlawanan” gagasan. Ide tersebut yaitu dengan membuat sebuah kelompok kesenian teater “Unduk Gurun”. Namun sebenarnya sebelum menemukan nama “Unduk Gurun” nama teater ini adalah TeaterMerah Putih. Pemain sendiri berasal dari petani lahan pantai pesisir Kulon Progo yang memainkan kehidupannya sendiri dalam teater. Pentas perdana di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tanggal 18 November 2008. Pertunjukan selanjutnya, dapat undangan di Jakarta di kampus Atma Jaya Jakarta yang pada saat itu di kordinir oleh SAKSI (Solidaritas Anti Kejahatan Korporasi). Selanjutnyas sekitar pertengahan tahun 2010, teater Unduk Gurun diundang manggung oleh Universitas Gadjah Mada, tepatnya di Fakultas Ilmu Budaya. Pertunjukan pada saat itu dinilai sukses karena mendapat perhatian banyak pihak atas permasalahan apa yang disampaikan pada teater tersebut. Terakhir kalinya pentas tahun 2012 di gedung mewah Societet Militer Yogyakarta. Dimana merupakan forum panggung internasional, semuanya adalah seniman terkenal dari berbagai negara. Dari teater ini merupak bentuk dari suatu aksi perlawanan, yang dimana dikemas secara seni. Walaupun begitu tetap pesan yag akan disampaikan bisa tersamapikan dalam benak masyarakat yang menyakasikannya. Bahwasannya di daerah pantai Kulon Progo terdapat sebuah gejolak. Dimana masyarakat membutuhkan bantuan orang-orang yang sangat peduli pada permsalahan ini untuk menuntaskan masalah yang ada.
Selain itu untuk menggalangkan basis massa yang kuat untuk melakukan penolaka adanya penambangan pasir besi. Para petani lahan pesisir juga berusaha untuk selalu menjalin hubungan baik dengan petani-petani lain yang senasib dan sekehidupan yang selama ini menjadi korban dari kebijakan negara dan birokrat yang di sponsori oleh modal-modal besar.
Petani pesisir Kulon Progo yang tergabung dalam Pguyuban Petani Lahan Pesisir Kulon Progo (PPLP-KP) pada tahun 2009 mulai berinisiatif untuk berkunjung di Kebumen. Kedatangannya langsung disambut oelh Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS). Dimana dikebumen sendiri juga memiliki permasalahan yang hampir sama. Bahwasannya tanah rakyat tersebut diklaim sebagai tanah Angkatan Darat. Namun dibalik itu semua sudah ada kesepakatan anatara penguasa dan pemodal bahwa tanah tersebut akan dijakdikan wilayah pertambangan. Adanya keinginan untuk betkomuniaski dengan komunitas petani lain. Ide ini ini disambut baik oleh kawan-kawan petani lain di Lumajang, tepatnya di desa Wotgalih, Yosowilangun. Pada akhirnya petani dari tiga kabupaten Kulon Progo, Kebumen, dan Lumajang dapat berkumpul untuk melakukan diskusi dan mengerucut pada pembentukan sebuah wdah untuk petani, wadah untuk saling berbagi dan bersilatuhrahmi.
Selama berjalannya waktu dan adanya pertemuan yang intens, akhirnya rencana dan rancangan itu bisa dilaksanakan pada tanggal 18 Oktober 2010, dideklarisakan paguyuban petani Jawa Selatan yang bernama Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA). FKMA didirikan atas dasar kesamaan nasib dan juga sama-sama menjadi korban ketidakadilan negara dan pemodal. Kini FKMA beranggotakan 10 kabupaten se-Jawa, yaitu Lumajang, Blitar, Pati, Sidoarjo, Kulon Progo, Kebumen, Cilacap, Ciamis, Banten serta Banjar. Dalam hal ini FKMA tidak hanya berbica perlawanan akan tetapi juga bagaimana mereka membangun sebuah kekuatan perekonomian kerakyatan yang betul-betul kuat dan kokoh.
FKMA terus bergerak dan bergerak secara nasional dan internsional. Mereka terus berupaya berusaha untuk memasuki di semua lini kehidupan. Mulai dari sesama petani, para seniman, agamawan, dan bahkan para akademisi yang msih bisa unutk diajak berpikir dan bergerak serta peduli terhadap masalah kerakyatan.[7]
Dengan sedikit modal kepiawaian dalam mengelola dunia maya, mereka juga mengampanyekan permasalahan petani di sini melalui web www.petani-merdeka.tk. Dengan ini semua orang dapat membaca dan tahu tentang permasalahan yang sedang dialami. Sehingga melalui media ini bisa sebagai propaganda dan  menambah jaringan dalam hubungan internasional yang semakin luas dan nyata. Hasilnya adalah solidaritas datang dari beberapa komunitas internasional melalui jejaring sosial.
Adanya dukungan ditunjukkan dari Austalia, dimana mereka sudah sering melakukan propaganda mapun aksi langsung menyuarakan permasalahan di pesisir Kulon Progo. sebagai contoh pada hari rabu 28 September 2011 yang dilakukan Melbourne Anarchist Club, meteka memberikan pernyataan yang pada intinya: para peteani seluruh pesisir Kulon Progo Yogyakarta Indonesia, berjuang keras dan bergelora. Mereka menyuarakan solidaritas global dalam perjuangan mereka untuk melawan pertambangan pasir besi, pencabutan hak dan untuk menentukan nasib sendiri. Mereka memanggil kita yang ada di Austrlia untuk mengurunkan niatnya dalam keterlibatan proyek tambang pasir besi. Dimana pihak Australia untuk mengambil tindakan untuk menghentikan proyek tersebut.
Masyarakat Kulon Progo telah berhasil mengubah garis pantai marjinal menjadi cerita sukses pertanian, sesuatu yang mereka gambarkan sebagai “cerita perjuangan ” bagi masyarakat di seluruh Indonesia. Sebuah proses perjuangan yang besar. Dimana akar rumput dapat mengorganisir dan berjuang untuk hak atas tanah dan penentuan nasib sendiri.
Selain dari Australia, di Eropa meraka juga berhasil membuat tali persaudaraan dengan beberapa komunitas di sana. Sebuah komunitas dari Inggris bernama Casual Anarchist Federation (CAF). Selain itu keberhasilan kampanye yang disampaikan melalui acara diskusi di salah satu kampus terbesar di Filipina yaitu University of The Philipines Pusat Studi Dunia Ketiga (Third World Studies Center) Manila. Sebuah forum Black & Green, Pusat Studi Dunia Ketiga, Universitas Filipina, Dilman Qoezon City, Filipina (7-8 Maret 2013) dan 2nd Solidarity Eco Camp, Tanay, Filipina (9-12 Maret 2013).[8]
Dan mereka berpesan kepada semua orang, elemen dan lapisan masyarakat Indonesia dan seluruh dunia, mengajak bersama-sama melawan ketidakadilan, perampasan tanah, hak hidup serta perusakan lingkungan, karena hidup ini adalah hak kita untuk menjalinanya. Bukan milik mereka saja yang mengaku sebagai aktivis, peneliti, atau korporasi bahkan partai politik.
Apalagi  negara! Karena negara hari ini hanya digunakan untuk ajan para politisi mencari kekayaan dan popularitas dan digunakan para pemodal untuk melegitimasi kepentingan mereka yaitu untuk mengeruk dan menghisap isi bumi kita dan menindas serta merampas hak-hak hidup kita dengan berbagai macam keluarnya undang-undang yang jelas-jelas menyengsarakan rakyat (UU Minerba Tahun 2010, UU Keistimewaan Yogyakarta Tahun 2012, RTRW DIY, dll. ed).[9]
F.     Kesimpulan
Adanya konflik yang terjadi di antara petani dengan pemerintah, para pemodal maupun elemen masyarakat lain merupakan sebuah beragamnya struktur ketidaksetaraan. Dimana para para petinggi negara yang memilki kekuasaan dan wewenang seolah-olah bebas mengatur apa yang menjadi kebijakan pada suatu negara. Pertikaian pada tambang pasir besi merupak contoh nyata adanya keberpihakan negara khsusnya pemerintah kepada para pemodal. Dimana legitimasi yang disandangnya tidak digunakan sesuai dengan koridornya. Namun malah disalahgunakan untu menciptakan ketidakadilan dan perampasan hak atas masayarakat di lahan pesisir pantai Kulon Progo.
Dengan adanya talik ulur mengenai proyek tambang pasir besi Kulon Progo, tidak menyurutkan semangat warga untuk mempertahankan apa yang menjadi haknya. Dimana masayarakat yang sudah cukup sejahtera dan dapat hidup mandiri dengan sisitem ekonomi kerakyatannya.  Harus diusik dengan adanya pertambangan tersebut, yang sebenarnya warga pun tidak membutuhkan itu.  Dengan modal keberanian dan tekat kuat, segala upaya ditempuh untuk mempertahankan haknya dan menuntut adanya keadilan. Adapun cara yang ditempuh seperti membentuk Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP). Dan upaya melakukan inovasi dalam sistem pertanian. Dimana hal ini sebagai suatu krtik keras terhadap pemerintah. Bahwa mereka dapat berdikari tanpa dukungan pemerintah dalam perekonomian. Selalu melakukan aksi untuk menolak adanya penambangan pasir besi. Selain itu membentuk Teater Unduk Gurun sebagai bentuk perlawanan yang lebih elegan. Adanya usaha konsolidasi dan membentuk paguyuban petani Jawa Selatan yang bernama Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA). Selain itu para petani melebarkan jaringannya dalam tingkat internasional dengan menggunakan media jejaring sosial. Upaya ini dilakukan agar mendapatak dukungan yang kuat dari negara-negara lain. Demikian langkah-langkah yang digunakan oleh para petani lahan pesisir, untuk melakukan penolakan terhadap adanya penambangan pasir besi.

Menolak adalah harga mati !!!















 





G.  Daftar Pustaka


Jones, P. (2010). Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Widodo. (2013). Menanam Adalah Melawan. Yogyakarta: PPLP-KP dan Tanah Air Beta.
Kus Sri Antoro. (2012). Titanium dan Pasir Besi Dikeruk, Kaum Tani Pesisir Selatan Beseru: “Bertani atau Mati!”. Edisi 46/XXVII/September.



[1] Widodo. (2013). Menanam Adalah Melawan. Yogyakarta: PPLP-KP dan Tanah Air Beta. Hal. 7.

[2] Jones, P. (2010). Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Hal. 15.

[3] Ibid. Hal. 25.
[4] Ibid. Hal. 41.
[5] Ibid. Hal. 50.
[6] Ibid. Hal. 51.
[7] Ibid. Hal. 78.
[8] Ibid. Hal. 85-86.
[9]Ibid. Hal. 83.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar