Sumber Foto: www.solopos.com
Berdikari
Untuk Melawan
A.
Latar
Belakang
Digulirkannya
rencana besar mengenai “tambang pasir besi” di daerah Kulon Progo Yogyakarta,
merupakan sebuah ancaman bagai warga pesisir pantai yang kegiatannya bertanam.
Dimana masyarakat menentang keras adanya penambangan tersebut. Walaupun
Pemerintah Daerah menilai, hal ini sebagai sebuah kemajuan suatu pembangunan
dan dapat menambah kesejateraan masyarakat. Namun berbeda tanggapannya dengan
warga yang berada di pesisir pantai. Adanya penambangan pasir besi hanyalah
untuk kepentingan sebagaian elit dan para pemodal. Dimana mereka akan mengeruk
sumber daya alam ada untuk memperoleh keuntungan yang besar. Selain itu dampak
kerusakan lingkungan yang akan pasti terjadi. Permasalahan ini yang menjadikan
warga tetap bersikeras menolak adanya penambangan.
Adanya pemerintah
untuk melindungi hak warganya, malah berbanding terbalik dengan didukungnya
program ini. Sebuah legitimasi yang pada ujungnya juga tentang pemerasan,
permainan antar negara yang melibatkan pemodal-pemodal besar yang juga untuk,
lagi-lagi membatasi dan memeras individu-individu bebas yang seharusnya
memiliki hak untuk mengapresiasikan dan membebaskan dirinya menikmati kehidupan
yang setara tanpa ditakuti oleh aturan-aturan yang membatasi di kebun-kebun, di
bangunan proyek-proyek megah, di pabrik dan sebagainya. Semua sama yaitu, “Korban” dari sebuah aturan yang dibuat penguasa.[1]
kekecewaan
ditambah lagi ketika seorang tokoh agama dan konsen di sebuah lembaga sosial
independen. Dia melakukan pembenaran atas apa yang dilakuakan oleh pemerintah
dan kaki tangannya, padahal dia tidak tahu situasi yang sebenarnya terjadi. Hal
ini diperparah lagi saat tokoh agama tersebut mengatakan tindakan warga pesisir
untuk menentang penambangan itu sebuah tindakan tidak benar dan menentang
agama.
Meskipun demikan
warga pesisir tetap menolak keras adanya penambangan pasir besi. Mereka akan
mempertahankan apa yang menjadi haknya meskipun harus bersitegang terhadap
orang yang mendukung adanya penambang pasir besi. Bagi para warga menolak
merupakan sebuah harga mati yang tetap harus dipertahankan. Walaupun pada saat
itu juga mereka sudah memikirkan, pasti terdapat ancaman dan teror yang akan
didapatkan.
B.
Rumusan
Masalah
Bagaiaman upaya yang dilakukan para
petani lahan pesisir pantai untuk menolak adanya penambangan pasir besi di Kulon
Progo ?
C.
Jawaban
Konseptual
Teori strukrutal-konflik
menekankan bahwa adanya permasalahan dalam masyarakat dikarenakan ada beragam
struktur ketidaksetaraan, dan bermacam kemudahan yang mereka anggap tersebar
tidak merata. Kemudahan yang dimaskud adalah adanya berbagai kelompok yang bisa
memiliki kekuasaan, wewenang, prestise, kekayaan, atau kombinasi unsur-unsur
tersebut dengan kemudahan yang lainnya. Hal ini memiliki pengertian bahwa
asal-usul dan presistensi struktur ketidaksetaraan terletak pada dominasi atas
kelompok-kelompok yang beruntung. Karena teori ini beranggapan, yang melekat
pada masyarakat yang tidak setara adalah konflik
kepentingan yang tak terhindari antara “yang berpunya” dan “tidak
berpunya”. Seperti dikatakan Wes Sharrock (1977).[2]
Selain
menggunakan teori sturkturak-konflik dalam melihat permasalahan ini penulis
juga menggunakan teori tindakan. Damana teori tindakan menekankan bahwa kita
memutuskan apa yang kita lakukan sesuai dengan interpretasi kita mengenai dunia
di sekeliling. Karena tidakan merupakan produk dari suatu keputusan untuk
bertindak, sebagai hasil dari pemikiran. Lebih lanjut, ini adalah pilihan
pruposif, atau berorientasi pada tujuan. Menggunakan teori tindakan untuk
kepentingan ini berarti memilih apa yang dilakukan sesuai dengan situasi yang
sedang dialami.[3]
Kedua teori ini
yang mendasari penulis dalam melihat masalah tambangan pasir besi yang berada
di Kulon Progo. Adanya konflik yang terjadi di lahan pesisir pantai daerah
Kulon Progo diakarenakan adanya perbedaan kepentingan antara warga, pemilik
modal dan pemerintah. Dimana masyarakat daerah pantai tidak mau apabila
kehidupannya diusik, mereka sudah cukup sejahtera dengan kegiatan bercocok
tanamannya. Sedangkan dari pihak pemodal melihat adanya sumber daya yang dapat
diolah menjadi bernilai lebih. Selain itu dengan adanya penambangan secara
tidak langsung memajukan pembangunan dan dapat membuka lapangan pekerjaan bagi
warga sekitar. Dalam kasus ini adanya kebijakan pemerintah yang mendukung
adanya penambangan pasir besi merupakan pukulan keras bagi warga pantai.
Terlihat pemerintah yang memiliki kuasa berhak menentukan pilihannya selagi
bisa menguntungkan bagi dirinya. Adanya struktur ketidaksetraan dalam
masyarakat hal ini yang akan memicu timbulnya konflik. Suatu pilihan sikap atau
tindakan untuk mempertahankan kepentingannya dengan berbagai macam cara harus
ditemput. Hal ini juga yang dialami oleh petani lahan pesisir pantai. Dimana
mereka akan berupaya keras untuk mempertahankan hak dan wilayahnya.
D.
Metode
Pencarian Data
Untuk memperoleh data-data yang
dibutuhkan dalam penulisan saya menggunakan cara study literature dengan membaca sumber-sumber terkait mengenai
“tambang pasir besi”.
E.
Pembahasan
Berawal pada
tahun 2007, dimana terjadi pergolakan di pesisir terpencil yang awalnya indah
dan damai. Pada saat itu mulai digulirkannya mega proyek penambangan pasir besi
yang diprakarsai negara dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Kulon Progo. Dimana
program ini tidak akan berjalan apabila hanya dilakukan oleh pemerintah,
sehingga mereka bekerjasama dengan para pemilik modal, baik lokal maupun asing.
Namun yang menjadi perhatian, bahwasannya yang menyediakan modal lokal justru
keluarga orang nomor satu di Provinsi Yogyakarta. Sehingga masyarakat pun
terkejut mengetahu hal ini. Akibatnya masyarakat sudah tidak percaya lagi
terhadap pihah kraton. Pihak kraton yang selama ini di nilai baik, kenyataannya
mereka tidak dapat melihat dan merasakan ketika sebenarnya rakyat merasa sudah
sejahtera anpa perlu pertambangan pasir besi.
Kebencian
masyarakat terhadap program yang digulirkan pemerintah semakin menjadi. Ketika
ada sekolompok orang berasal dari Universitas Gadjah Mada (UGM) masuk ke desa
Garongan. Dimana kedatangan mereka tidak sopan dan menempati rumah warga yang
dituakan tanpa permisi. Secara tidak langsung telah melanggar etika adat desa
tersebut. Ditambah lagi tujuan kedatangannya untuk memetakan wilayah yang akan
dijadikan areal pertambangan. Setelah ditelusuru, ternyata mereka adalah utusan
dari perusahaan tambang. Sehingga masyarakat langsung mengusir sekelompok orang
tadi. Dan ini sedikit peristiwa sebagai awal perlawanan petani pesisir Kulon
Progo.
Untuk menolak
adanya tambang pasir besi. Akhirnya para petani bersepakat untuk membentuk
“Paguyuban Petani Lahan Pantai” (PPLP) Kulon Progo pada tanggal 1 April 2007.
Adanya rapat forum paguyuban mengenai tambang pasir besi, alhasil petani
menyatakan “Menolak tambang pasir besi adalah harga mati”.
Akibatnya pada
tanggal 27 Oktober 2008 kampung pesisir diserang oleh segerombolan orang-orang
berseragam hitam berikat tangan warna putih. Merekan dengan membabi buta
merusak bahkan membakar pos ronda, rumah warga. Ironisnya dalam kejadian itu
ada aparat penegak hukum (polisi) hanya diam saja. Walaupun pada akhirnya
sebagaian kecil gerombolan tadi ditangkap, walaupun tidak memalui proses yang
jelas. Dan pada akhirnya pengadilan hanya memutuskan hukuman 6 bulan dengan
masa percobaan 4 bulan. Tindakan criminal yang jelas dilakukan di depan aparat
penegak hukum, justru mendpat keringanan hukuman. Sangat tidak adil bagi para
warga pesisir, seolah-olah siapa yang mempunyai kuasa berhak mengatur seenaknya
hidup ini.
Selain itu
permasalahan tambah memanas. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 3 Mei 2009
pukul 18.30 WIB. Saat seorang petani
bernama Tukijo dari Desa Karangewu
(salah satu desa di pesisir Kulon Progo) mendatangi rumah seorang kepala dusun
Karangsewu, Galur, Kulon Progo. kedatangan Tukijo sekedar menanyakan tentang
data pencatatan tanh pesisir yang diklaim sebagai tanah pakualam dan akan
dibuatkan Magersari yang artinya surat Kekancingan dari Pakualam. Karena hanya
bertanya seperti ini, Tukijo langsung dikriminalkan oleh perangkat desa
tersebut. Dan anehnya lagi penegak hukum mau menindaklanjuti proses hukumnya.
Lagi-lagi disini ditemukan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan oleh aparat
penegak hukum.
Adanya usaha
untuk menggarapa proyek ini sangat terlihat dengan adanya negara berkolaborasi
dengan korporasi. Bagaimana AMDAL (Analisi Mengenai Dampak Lingkungan) tentang
proyek yang akan dijalankan, bisa muncul tanpa ada persetujuan dari pihak
masyarakat. dalam hal ini petani tidak akan pernah terpengaruh dengan situasi
seperti ini. justru petani semakin tahu dan paham bahwa sampai hari ini
ternyata yang namanya pemerintah tetap saja berpihak kepada pemodal daripada moral rakyat.
Sebenarnya
dahulu tanah yang berada di pesisir pantai adalah tanah yang tidak produktif.
Namun atas usaha yang diawalah oelh Sukarman muda yang berasal dari Desa Bugel
2, Oanjatan, Kulon Progo. Dimana dia melihat tumbuhan cabai tigi biji tanpa
dirawat-dipupuk ternayat dapat tumbuh dengan baik. akhirnya Sukarman mencoba mempraktikkan
sesuatu yang selama ini dia pikirkan. Sukarman mulai menanm cabai di lahan
pasir pesisir yang sangat panas. Selain itu Pak Karman membuat sumur brunjung,
semacam tabung panjang 4-5 meter dengan diametr sekitar 80-100 sentimeter. Dari
ini semua selama kuramg lebih 70 hari Pak Karman akhirnya bisa memanam hasil
dari tanaman cabe tersebut.
Dari Sukarman
muda yang berhasil mengolah dan menemukan inovasi tanaman cabai di lahan
pesisir panati selatan pada tahun 1985-an, maka sampai sekarang menjadi
tumpuhan hidup seluruh petani di pesisir selatan pnati Kulon Progo yang di era
ini lebih dari 10.000 kepala keluarga yang hidup dan berpenghidupan di pesisir
pantai Kulon Progo. [4]
Namun kenyamanan dan kesejahteraan dalam bertani kini telah di
usik dengan bergulirnya penambangan pasir besi. Dalam hal ini PPLP-KP berusah
keras untuk menolak adanya tambang pasir besi. Usaha yang dilakukan pun
bermacam-macam. Mulai dari usah untuk meningkatkan pertanian dan melakukan
inovasi-inovasi dalam bertani. Dimaksudkan agar pemerintah tahu, pertanian kami
pun maju dan swadaya, oeleh karena itu janganlah di ganggu dengan adanya
tambang pasir besi.
Adanya inovsi
bertanam dengan sistem tanam tumpang sari, yaitu dianatara tanaman cabai
ditanami sayuran lain yang tidak mengganggu tanaman pokok cabai. Tidak hanya
itu, petani juga berhasil membuat dan mempraktikkan ide tentang bagaimana
mengamankan tanaman dari hempusan angin pantai yang sangat kencang dan bercampur
dengan uap air laut yang kurang bermanfaat bagi tanaman. Caranya dengan menanam
tumbuhan yang tidak menganggu tanaman cabai atau sayur. Misalanya menanam pohon
kelor dengan cara ditanami di bagian tepihan lahan dengan jarak 1 meter anatr
pohon.
Yang dulu sumber
pengairan dibuat melalui bis beton, saat ini berkembang sumur-sumur pertanian
yang sudah menggunkan sumur suntik/bor. Juga dengan psoses pengairan. Proses
pengairan pun berubah yang dulunya mengambil dari sumur dan disiram langsung
ketanaman. Kini berubah dengan ditemukannya model sumur rentang yaitu suatu
sumjur induk, terus dialirkan melalui media yang waktu itu menggunkan bambu
yang dilubangi di tiap-tiap ruasnya. Namun kini sudah berganti menggunakan pipa
paralon dengan diameter 1,5 sampai 2 inci. Dimana inovasi pengairan model
sistem renteng merupakan variasi ketiga yang sebelumnya menggunakan model
pengairan tadah hujan dan pengairan aliran air/sungai.
Selain itu
bentuk perlawanan sebagai adanya penolakan tambang pasir besi. Dimana dalam
mengatasi berbagai gejolak di masyarakat tentang penjualan cabai setelah pasca
panen. Petani membentuk yang namanya pasar lelang cabai. Dimana hasil panen dari berbagai petani
dukumpulkan menjadi satu dpasar tesebut. Dimana para pedagang unutk membeli
akan mendatangi pasar tersebut. hal ini dilakukan untuk mengantisipasi tidak
terjualnya hasil panen cabai, dan harga yang murah akibat adanya
tengkulak-tengkulak yang ingin mendapatkan keuntungan besar. Dengan adanya
pasar lelang cabai pedagang juga merasa diuntungkan dan puas. Karena mereka
bisa mendapatkan cabai-cabai yang segar langsun dipanen dari lahannya. Alhasil
sekarang ada sekitar 23 pasar lelang yang tersebar di penjuru wilayah pesisir
pantai Kulon Progo, yaitu di Pedukauhan Trisik Banaran 1 kelompok pasar lelang,
Desa Karangsewu 4 kelompok pasar lelang, Desa Bugel 2 kelompok pasar lelang,
Desa Garongan 5 kelompok pasar lelang, Desa Pleret 1 kelompok pasar lelang,
Desa Karangwuni 4 kelompok pasar lelang dan desa Macanan sebanyak 3 kelompok
pasar lelang.
Keberhasilan
petani pesisir pantai ini sangat langka dan bijaksana, sehingga semua ini
mendapatkan perhatian dari pemerintah yaitu dinas pertanian. Sehingga terkesan
negara atau pemerintah ini hanya bisa mengklaim keberhasilan sebuah kelompok
masayarkat dan sekaan-akan itu adalah keberhasilan mereka dan sebagai binaan
mereka. Para petani disini mengelola dan menghidupkan sistem perekonomian
dengan cara mandiri dan swakelola.
Ketidakadilan
yang selalu terbangun di negara ini, bukti bahwa memang hari ini negara
selalutidak bisa memberikan hak-hak rakyatnya. Negara yang selalu mentasbihkan
diri sebagai negara agraris tetapi mengingkari agrarian dan para
petani-petaninya. Secara sudut pandang yang lebih nyata bahwa perputaran uang
di sini sanagat bisa langsung dinikmati masyarakat secara langsung. Sebagai
petani yang bisa dikatakan kami adalah petani gurem. Petani yang lahannya
garapannya tidak tidak lebih dari 1 hektar, akan tetapi kami bisa menghidupi
dan bisa memenuhi kebutuhan, yang tentunya dengan berbagai cara dan sistem yang
kami kelola bersama.[5]
Petani
menganggap bahwa jeas-jelas dirinya sudah dirugikan oleh negara dengan adanya
penambangan pasir besi yang sebenarnya tidak diinginkan kedatangannya dan tidak
dibutuhkan sama sekali.
Birokrat dan
pejabat yang selalu membuat dan mengesahkan undang-undang yang memperlancar
modal dan investasi teknokrat yang selalu ingin mempengaruhi cara pandang dan
metode petani dalam berpikir, bahwa harta adalah “Tuhan” dan itu nomor 1. Kami
tidak akan terpenagaruh dengan arus moedernsasi model-model kapitalisme. Kami
akan buktikan bahwa tidak selamanya petani bodoh dan miskin.[6]
Dengan
kepercayaan dan semangat yang tak gentar, petani menanamkan prinsipi bahwa
menanam adalah melawan bentuk penindasan atas kehidupan kami.
Permasalahan ini
diperparah lagi dengan masuknya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang membela
atas nama rakyat. Namun pada kenyataanya, banyak dari mereka yang justru nurut
pada siapa yang memeberikan pendanaan. Banyak juga lembaga swadaya masyarakat
itu adalah bentukan ataupun pendanaannyajustru dari para musuh rakyat, sangat
mengerikan sekali. Dengan slogan dan retorika yang sangat idealis, eh, ternyata
juga justru ikut membela kepentingan pemodal.
Karena hal ini
akhirnya para warga lebih selektif untuk memilih kawan dan lawan. Selektivitas
dimakanai sebagai wujud waspada terhadap para penyusup dan agen-agen musuh –
musuh yaitu pemodal tambang dan pemerintah negara yang melanggar aqidah dan
aturan serta mengkhianati rakyat. selain itu banyaknya para mahasiswa dan
akademisi yang datang untuk mengtahui situasi dan kondisi pada saat itu. Namun
ujung-ujungnya mereka juga tidak bisa melakukan perubahan atas permasalahan
ini. kebanyakan dari mereka datang untuk melakukan penelitian guna kepentingan
pribadi. Seniman, budayawan juga ternyata tidak jauh berbeda tingkahnya. Hanya
pandai berbicara, namun juga tidak bisa merubah kondisi yang ada. Sebagai bukti
adanya sebuah pernyataan bahwa “kasus Kulon Progo tidak akan selesai sebelum
malaikat turu di sana”.
Setiap kali aksi
sebagi suatu bentuk langkah untuk melakukan penolakan merupakan hal yang sudah
biasa bagi warga pesisir pantai. Namun pada kesempatan ini tergali sebuah ide
untuk bagiamana kita melakukan kampanye yang lebih lembut dan mungkin juga
lebih enak untuk dinikmati banyak orang, walaupun merupakan sebuah bentuk
“perlawanan” gagasan. Ide tersebut yaitu dengan membuat sebuah kelompok
kesenian teater “Unduk Gurun”. Namun sebenarnya sebelum menemukan nama “Unduk
Gurun” nama teater ini adalah TeaterMerah Putih. Pemain sendiri berasal dari
petani lahan pantai pesisir Kulon Progo yang memainkan kehidupannya sendiri
dalam teater. Pentas perdana di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tanggal 18
November 2008. Pertunjukan selanjutnya, dapat undangan di Jakarta di kampus Atma
Jaya Jakarta yang pada saat itu di kordinir oleh SAKSI (Solidaritas Anti
Kejahatan Korporasi). Selanjutnyas sekitar pertengahan tahun 2010, teater Unduk
Gurun diundang manggung oleh Universitas Gadjah Mada, tepatnya di Fakultas Ilmu
Budaya. Pertunjukan pada saat itu dinilai sukses karena mendapat perhatian
banyak pihak atas permasalahan apa yang disampaikan pada teater tersebut.
Terakhir kalinya pentas tahun 2012 di gedung mewah Societet Militer Yogyakarta.
Dimana merupakan forum panggung internasional, semuanya adalah seniman terkenal
dari berbagai negara. Dari teater ini merupak bentuk dari suatu aksi
perlawanan, yang dimana dikemas secara seni. Walaupun begitu tetap pesan yag
akan disampaikan bisa tersamapikan dalam benak masyarakat yang menyakasikannya.
Bahwasannya di daerah pantai Kulon Progo terdapat sebuah gejolak. Dimana
masyarakat membutuhkan bantuan orang-orang yang sangat peduli pada permsalahan
ini untuk menuntaskan masalah yang ada.
Selain itu untuk
menggalangkan basis massa yang kuat untuk melakukan penolaka adanya penambangan
pasir besi. Para petani lahan pesisir juga berusaha untuk selalu menjalin
hubungan baik dengan petani-petani lain yang senasib dan sekehidupan yang
selama ini menjadi korban dari kebijakan negara dan birokrat yang di sponsori
oleh modal-modal besar.
Petani pesisir
Kulon Progo yang tergabung dalam Pguyuban Petani Lahan Pesisir Kulon Progo
(PPLP-KP) pada tahun 2009 mulai berinisiatif untuk berkunjung di Kebumen.
Kedatangannya langsung disambut oelh Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan
(FPPKS). Dimana dikebumen sendiri juga memiliki permasalahan yang hampir sama.
Bahwasannya tanah rakyat tersebut diklaim sebagai tanah Angkatan Darat. Namun
dibalik itu semua sudah ada kesepakatan anatara penguasa dan pemodal bahwa
tanah tersebut akan dijakdikan wilayah pertambangan. Adanya keinginan untuk
betkomuniaski dengan komunitas petani lain. Ide ini ini disambut baik oleh
kawan-kawan petani lain di Lumajang, tepatnya di desa Wotgalih, Yosowilangun.
Pada akhirnya petani dari tiga kabupaten Kulon Progo, Kebumen, dan Lumajang
dapat berkumpul untuk melakukan diskusi dan mengerucut pada pembentukan sebuah
wdah untuk petani, wadah untuk saling berbagi dan bersilatuhrahmi.
Selama
berjalannya waktu dan adanya pertemuan yang intens, akhirnya rencana dan
rancangan itu bisa dilaksanakan pada tanggal 18 Oktober 2010, dideklarisakan
paguyuban petani Jawa Selatan yang bernama Forum Komunikasi Masyarakat Agraris
(FKMA). FKMA didirikan atas dasar kesamaan nasib dan juga sama-sama menjadi
korban ketidakadilan negara dan pemodal. Kini FKMA beranggotakan 10 kabupaten
se-Jawa, yaitu Lumajang, Blitar, Pati, Sidoarjo, Kulon Progo, Kebumen, Cilacap,
Ciamis, Banten serta Banjar. Dalam hal ini FKMA tidak hanya berbica perlawanan
akan tetapi juga bagaimana mereka membangun sebuah kekuatan perekonomian
kerakyatan yang betul-betul kuat dan kokoh.
FKMA terus
bergerak dan bergerak secara nasional dan internsional. Mereka terus berupaya
berusaha untuk memasuki di semua lini kehidupan. Mulai dari sesama petani, para
seniman, agamawan, dan bahkan para akademisi yang msih bisa unutk diajak
berpikir dan bergerak serta peduli terhadap masalah kerakyatan.[7]
Dengan sedikit
modal kepiawaian dalam mengelola dunia maya, mereka juga mengampanyekan
permasalahan petani di sini melalui web www.petani-merdeka.tk.
Dengan ini semua orang dapat membaca dan tahu tentang permasalahan yang sedang
dialami. Sehingga melalui media ini bisa sebagai propaganda dan menambah jaringan dalam hubungan internasional
yang semakin luas dan nyata. Hasilnya adalah solidaritas datang dari beberapa
komunitas internasional melalui jejaring sosial.
Adanya dukungan
ditunjukkan dari Austalia, dimana mereka sudah sering melakukan propaganda
mapun aksi langsung menyuarakan permasalahan di pesisir Kulon Progo. sebagai
contoh pada hari rabu 28 September 2011 yang dilakukan Melbourne Anarchist Club, meteka memberikan pernyataan yang pada
intinya: para peteani seluruh pesisir Kulon Progo Yogyakarta Indonesia,
berjuang keras dan bergelora. Mereka menyuarakan solidaritas global dalam
perjuangan mereka untuk melawan pertambangan pasir besi, pencabutan hak dan
untuk menentukan nasib sendiri. Mereka memanggil kita yang ada di Austrlia
untuk mengurunkan niatnya dalam keterlibatan proyek tambang pasir besi. Dimana
pihak Australia untuk mengambil tindakan untuk menghentikan proyek tersebut.
Masyarakat Kulon
Progo telah berhasil mengubah garis pantai marjinal menjadi cerita sukses
pertanian, sesuatu yang mereka gambarkan sebagai “cerita perjuangan ” bagi
masyarakat di seluruh Indonesia. Sebuah proses perjuangan yang besar. Dimana
akar rumput dapat mengorganisir dan berjuang untuk hak atas tanah dan penentuan
nasib sendiri.
Selain dari
Australia, di Eropa meraka juga berhasil membuat tali persaudaraan dengan
beberapa komunitas di sana. Sebuah komunitas dari Inggris bernama Casual Anarchist Federation (CAF).
Selain itu keberhasilan kampanye yang disampaikan melalui acara diskusi di
salah satu kampus terbesar di Filipina yaitu University of The Philipines Pusat Studi Dunia Ketiga (Third World Studies Center) Manila.
Sebuah forum Black & Green, Pusat
Studi Dunia Ketiga, Universitas Filipina, Dilman Qoezon City, Filipina (7-8
Maret 2013) dan 2nd Solidarity
Eco Camp, Tanay, Filipina (9-12 Maret 2013).[8]
Dan mereka
berpesan kepada semua orang, elemen dan lapisan masyarakat Indonesia dan
seluruh dunia, mengajak bersama-sama melawan ketidakadilan, perampasan tanah,
hak hidup serta perusakan lingkungan, karena hidup ini adalah hak kita untuk
menjalinanya. Bukan milik mereka saja yang mengaku sebagai aktivis, peneliti,
atau korporasi bahkan partai politik.
Apalagi negara! Karena negara hari ini hanya
digunakan untuk ajan para politisi mencari kekayaan dan popularitas dan
digunakan para pemodal untuk melegitimasi kepentingan mereka yaitu untuk
mengeruk dan menghisap isi bumi kita dan menindas serta merampas hak-hak hidup
kita dengan berbagai macam keluarnya undang-undang yang jelas-jelas
menyengsarakan rakyat (UU Minerba Tahun 2010, UU Keistimewaan Yogyakarta Tahun
2012, RTRW DIY, dll. ed).[9]
F.
Kesimpulan
Adanya konflik
yang terjadi di antara petani dengan pemerintah, para pemodal maupun elemen
masyarakat lain merupakan sebuah beragamnya struktur ketidaksetaraan. Dimana
para para petinggi negara yang memilki kekuasaan dan wewenang seolah-olah bebas
mengatur apa yang menjadi kebijakan pada suatu negara. Pertikaian pada tambang
pasir besi merupak contoh nyata adanya keberpihakan negara khsusnya pemerintah
kepada para pemodal. Dimana legitimasi yang disandangnya tidak digunakan sesuai
dengan koridornya. Namun malah disalahgunakan untu menciptakan ketidakadilan
dan perampasan hak atas masayarakat di lahan pesisir pantai Kulon Progo.
Dengan adanya
talik ulur mengenai proyek tambang pasir besi Kulon Progo, tidak menyurutkan
semangat warga untuk mempertahankan apa yang menjadi haknya. Dimana masayarakat
yang sudah cukup sejahtera dan dapat hidup mandiri dengan sisitem ekonomi
kerakyatannya. Harus diusik dengan
adanya pertambangan tersebut, yang sebenarnya warga pun tidak membutuhkan
itu. Dengan modal keberanian dan tekat
kuat, segala upaya ditempuh untuk mempertahankan haknya dan menuntut adanya
keadilan. Adapun cara yang ditempuh seperti membentuk Paguyuban Petani Lahan
Pantai Kulon Progo (PPLP-KP). Dan upaya melakukan inovasi dalam sistem
pertanian. Dimana hal ini sebagai suatu krtik keras terhadap pemerintah. Bahwa
mereka dapat berdikari tanpa dukungan pemerintah dalam perekonomian. Selalu
melakukan aksi untuk menolak adanya penambangan pasir besi. Selain itu membentuk
Teater Unduk Gurun sebagai bentuk perlawanan yang lebih elegan. Adanya usaha
konsolidasi dan membentuk paguyuban petani Jawa Selatan yang bernama Forum
Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA). Selain itu para petani melebarkan
jaringannya dalam tingkat internasional dengan menggunakan media jejaring
sosial. Upaya ini dilakukan agar mendapatak dukungan yang kuat dari
negara-negara lain. Demikian langkah-langkah yang digunakan oleh para petani
lahan pesisir, untuk melakukan penolakan terhadap adanya penambangan pasir
besi.
Menolak
adalah harga mati !!!
G. Daftar Pustaka
Jones, P.
(2010). Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Widodo.
(2013). Menanam Adalah Melawan. Yogyakarta: PPLP-KP dan Tanah Air Beta.
Kus Sri Antoro. (2012). Titanium dan Pasir Besi Dikeruk, Kaum Tani
Pesisir Selatan Beseru: “Bertani atau Mati!”. Edisi 46/XXVII/September.
[1]
Widodo. (2013). Menanam Adalah Melawan.
Yogyakarta: PPLP-KP dan Tanah Air Beta. Hal. 7.
[2]
Jones, P. (2010). Pengantar Teori-Teori
Sosial. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Hal. 15.
[3]
Ibid. Hal. 25.
[4]
Ibid. Hal. 41.
[5]
Ibid. Hal. 50.
[6]
Ibid. Hal. 51.
[7]
Ibid. Hal. 78.
[8]
Ibid. Hal. 85-86.
[9]Ibid.
Hal. 83.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar