Selasa, 02 Juli 2013

Dilema Masyarakat Sipil (MS) di Indonesia


Indonesia adalah sebuah negara yang menganut sistem pemerintahan yang demokrasi. Dimana kesetaraan, kebebasan berpendapat, dan berkumpul menjadi hal yang utama. Demokrasi juga merupakan sistem politik di mana pemerintahan mesti dipercaya oleh rakyat, dan memiliki mekanisme yang menjadikan responsif terhadap berbagai keinginan, pilihan, dan kepentingan rakyat.[1] Dalam suatu demokrasi juga memerlukan publik yang terorganisasi untuk berdemokrasi, tersosialisasikan ragam norma dan nilainya, tidak hanya berkomitmen terhadap kepentingan yang sempit, melainkan mengedepankan tujuan dan kepentingan masyarakat secara luas. Terciptanya civic community semacam ini, melalu adanya “masyarakat sipil” yang dinamis.
Masyarakat sipil melingkupi kehidupan sosial terorganisir yang terbuka, sukarela, lahir secara mandiri, setidaknya berswadaya secara parsial, otonom dari negara, dan terikat pada tatanan legal atau seperangkat nilai-nilai bersama. Masyarakat sipil sendiri adalah sebuah fenomena penengah, berdiri di antara ruang privat dan negara. Ia bukan masyarakat parokial, masyarakat ekonomi dan juga masyarakat politik.[2]
Di negara Indonesia khusunya, masyarakat sipil sangat berkembang pesat sebagai pendorong demokratisasi. Mereka bergerak dalam berbagai macam kegiatan, seperti dalam hal kemanusian, lingkungan, dan masih banyak lagi. Dalam kegiatannya, masyarakat sipil sudah mulai memberikan kontribusinya dalam pelayanan publik dan pendukung demokratisasi.
Namun banyak berbagai dilema dan permasalahan yang terjadi terhadap masyarakat sipil di Indonesia. Mulai dari pendanaan, masyarakat sipil di Indonesia masih sangat bergantung pada donor luar negri dalam mendukung program-programnya. MS di Indonesia kebanyakan belum mampu membiayai kegiatnnya sendiri, terutama MS yang kecil. Sehingga terkadang apabila tidak ada dana mereka bubar. Hal ini ditambah lagi dengan adanya “Paris Declaration for Aid
Effectiveness” pada tahun 2005.[3] Pada intinya dalam deklarasi ini menyebutkan, bahwa negara maju dan lembaga donor dalam memberikan bantuan harus melalui UN dan perbankan multinasional. Karena lembagai ini mempunya pengalaman dalam mengelola dana bantuan (hibah) secara efisien dan efektivitas tinggi.
Selain itu untuk mendapatkan dana bantuan, mereka memberikan syarat-syarat yg harus dipenuhi LSM. Mulai dari program-program yang jelas, kualitas sumber daya manusia, kelegalan organisasi serta jejaring. Hal ini yang menjadi permasalahan besar LSM di Indonesia. karena kebanyakan mereka masih bergantung pada donor luar negri.
Masalah yang lainnya, seperti kurang loyalnya para aktor didalam LSM tersebut. Seperti yang kita ketahui terkadang para aktor LSM mau bekerja apabila ada dana. Sedangkan apabila tidak ada dana, mereka bubar sendiri-sendiri. Hal ini yang perlu diperbaiki. Selain itu banyak para aktor LSM yang tadinya idealis dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat. Namun apabila mereka beralih dalam politik atau pemerintahan, mereka lupa akan idealismenya. Hal lain yang terjadi, banyak LSM yang berebut dalam mendapatkan dana. Hal ini akan memunculkan persaingan antar LSM. Sehingga mereka berusaha mendapatkan bantuan itu untuk kepentingan kelompoknya.
Dari semua permasalahan yang dipaparkan diatas, bahwa masyarakat sipil di Indonesia masih bergantung pada donor luar negri untuk pembeayaan kegiatan dan program-programnya. Selian itu kurang adanya kesadaran diri dalam pengabdiannya terhadap masyarakat. Sehingga mereka mengadvokasi masyarakat, apabila ada dana.
Melihat hal itu saya akan memberikan sumbagan pemikiran mengenai solusi dalam permasalahan tersebut. Untuk membangun masyarakat sipil yang tangguh untuk kedepannya. Mulai dari permasalahan pembeayaan, seharusnya masyarakat sipil mulai menggembangkan usaha didalam organisasinya sendiri. Seperti pelayanan jasa intelektual (jasa konsultasi, jasa pelatihan), investasi ( tabungan, asuransi, saham), penyewaan fasilitas (gedung, fasiltas pelatihan), dan hasil pelayanan jasa ekonomi. kegiatan ini semua dapat membantu pembeayaan program-progrma masyarakat sipil tersebut. Sehingga tidak selalu bergantung pada donor luar negri dalam masalah pemdanaan.  Selain itu iuran anggota sangat diperlukan. Karena ketika para anggota memberikan uang secara sukarela kepada sebuah organisasi, mereka lebih mungkin merasa turutvmemiliki organisasi tersebut.[4] Hal ini akan membangun loyalitas dalam diri setiap aktor dalam kontribusinya terhadap organisasi dan membantu masyarakat.
Selain itu bisa melakukan pelatihan dan pendidikan terhadap Sumber Daya Manusianya (SDM). Dengan pelatihan dan pendidikan, dapat menghasilkan SDM yang berkualitas dan profesioanal dalam oraganisasi tersebut. Sehingga para SDM bisa bekerja secara maksimal dalam kepentingannya untuk menangani isu-isu public dan mempunyai loyalitas terhadap oraganisasinya. Agar setiap program-programnya mendapatkan dukungan, Para LSM bisa membangun relasi antar LSM lain. Sehingga bisa terbentuk konsolidasi dalam masyarakat sipil tersebut dan meminimalisir terjadinya persaingan antar LSM. Selain itu perlunya modal sosial, sebagai bentuk kerja sama dalam mendukung proses berlangsunganya kegiatan LSM selain modal finansial.

Bibliography

Diamond, L. (2003). Developing Democracy toward consolidation. Yogyakarta: IRE Press Yogyakarta.




[1] Diamond, L. (2003). Developing Democracy toward consolidation. Yogyakarta: IRE Press Yogyakarta. Hal 276.

[2] Loc.cit.
[3] Dalam tulisan Frans Toegimin, hal 1.
[4] Ibid, hal. 317.


Nasionalisme Bangsa Indonesia


Mungkin tidak asing lagi ditelinga kita apabila mendengar kata-kata Nasionalisme. Naisonalisme sendiri berasal dari dua kata nation dan isme. Nation sendiri mempunyai makna  bangsa atau kelompok orang yang tinggal disuatu negara. Sedangakan isme adalah suatu ideologi paham atau keyakinan yang diyakini oleh orang tersebut sebagai pedoman. Terus apa yang dimaksud Nasionalisme Indonesia ? Nasionalisme Indonesia adalah suatu gerakan kebangsaan yang timbul pada bangsa Indonesia untuk menjadi sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat di negri tempat tinggalnya sendiri berdasarkan atas budaya, sosial, ekonomi dan kemasyarakatan. Asas nasionalisme sebagai dasar dan tujuan berdirinya negara republik Indonesia juga tercantum dalam pancasila sebagai sila ketiga, yaitu persatuan Indonesia. Pancasila sendiri sebagai ideologi bangsa Indonesia seharusnya bisa menjadi acuan dalam membangun kehidupan berbangsa. Selain sebagai ideologi negara, Pancasila telah ditetapkan sebagai sumber hukum oleh MPR dan sebagai paradigma dalam melaksanakan semboyan Negara “Bhinneka Tunggal Ika”. Nasionalisme Indonesia sendiri harus sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yang lebih menekankan keselarasan dan keserasian dibanding dialektika dan konflik.
Namun tidak bisa dipungkiri walaupun semangat persatuan telah bertunas sebelum datangnya kolonialisme, akan tetapi konsep nasionalisme yang dikenal pada abad ke-20 di negeri kita berakar dari konsep nasionalisme di Eropa. Nasionalisme sebagai ideologi modern muncul sekitar tahun 1779 dan mulai berkembang pada tahun 1830. Revolusi Perancis pada abad 18 sangat berpengaruh terhadap berkembangnya gagasan nasionalisme tersebut. Semenjak terjadinya itu banyak kerajaan feodal mengalami proses integrasi menjadi “negara kebangsaan” yang wilayahnya lebih luas dan diatur sistem pemerintahan yang sama. Mulai dari itu banyak negara-negara di Eropa dan Amerika bermunculan pula gerakan-gerakan kebangsaan, dan segera menjalar ke Asia. Hal ini disebabkan sangat ampuhnya Nasionalisme sebagai ideologi yang dapat mempersatukan banyak orang di negri-negri jajahan untuk menentang kolonialisme dan imperialisme.
Walaupun semangat persatuan sudah ada sejak lama dalam bangsa Indonesia namun semangat kebangsaan atau nasionalisme dalam arti yang sebenarnya yang kita pahami sekarang ini, secara resmi baru lahir pada awal abad ke-20. Ia lahir sebagai reaksi atau perlawanan melawan kolonialisme dan imperialisme serta kelanjutan dari gerakan-gerakan perlawanan terhadap VOC dan Belanda. Ada 2 faktor besar yang mempengaruhi nasionalisme Indonesia, yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar.
Faktor dari dalam (internal)
1. kejayaan masa lampau. 2. Perasaan senasib dan sepenanggungan akibat penderitaan dan kesengsaraan masa penjajahan. 3. Munculnya golongan Cendikiawan. 4. Paham nasionalis yang berkembang dalam bidang politik, sosial ekonomi, dan kebudyaan.
Faktor dari luar (eksternal)
1.Kemenangan Jepang atas Rusia dalam perang tahun 1905. 2. Perkembangan nasionalisme diberbagai negara: pergerakan kebangsaan India, Filipina, Rakyat China, Turki Muda dan Mesir. 3. Muculnya paham-paham baru: munculnya paham-paham baru di luar negri seperti nasionalisme, liberalisme, sosialisme, demokrasi dan islamisme. Perkembangan ideologi ini terlihat pada penggunaan paham pada organisasi pergerakan nasional Indonesia.
Organisasi muncul pertama kali adalah Budi Utomo, didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 oleh Dr. Sutomo dan para mahasiswa STOVIA.  Organisasi ini pada dasarnya adalah suatu lembaga yang mengutamakan kebudayaan dan pendidikan.  Pada bulan Oktober 1908 menyelenggarakan kongres pertma di Yogyakarta. Wahidin sebagi bapak dalam mengatur organisasi. Namun dari kelompok minoritas yang dipimpin Tjipto Mangun Kusumo menginginkan Budi Utomo sebagi partai politik yang mengangkat rakyat dan kegiatannya tersebar diseluruh Indonesia, tidak hanya di Jawa saja. Namun hal itu tidak disetujui.  Budi Utomo dianggap sebagi keberhasilan politik ethis oleh Gubernur Jendral van Heutz. Budi Utomo sempat mengalami keguncangan karena krisis dan dan pemimpin yang cakap. Pada akhirnya Budi Utomo resmi dibubarkan pada tahun 1935.
Pada awal abad XX kaum muslim merasa mendapat saingan oleh orang China. Lalu Tirtoadisurjo lulusan OSVIA mendirikan Sarekat Dagang Islam di Batavia pada tahun 1909. Organisasi ini untuk membantu  pedagang-pedagang Indonesia dalam menghadapi saingan orang-orang Cina. Pada tahun 1911 dia mendorong pedagang batik yang sukses dari Surakarta untuk membuat koperasi Sarekat Dagang Islam anti Cina.
Pada tahun 1912 Sarekat Dagang Islam berganti nama menjadi Sarekat Islam (SI). SI sangat tumbuh pesat dan pada tahun 1919 mempunyai anggota 2 juta. SI sendiri mengatakan setia pada rezim Belanda, namun pada saat organisasi ini berkembang di desa meletuslah tindak kekerasan. SI menjadi organisasi dan sebagai lambang kesetiakawanan kelompok yang dipersatukan atas ketidaksukaan terhadap orang Cina.
Selain itu pada periode awal perkembangan yang diwarnai perjuangan untuk memperbaiki situasi sosial dan budaya juga muncul organisasi Islam seperti Muhmmadiyah yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan pada 18 November 1912. Organisasi ini dipelopori oleh cendikiawan muslim yang mengusung Islam modern.
Pada periode nasional politik, gerakan nasional di Indonesia bergerak dalam bidang politik untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Organisasi yang muncul adalah Indische Partij dan Gerakan Pemuda. Indische Partij adalah partai politik pertama di Hindia Belanda, berdiri tanggal 25 Desember 1912. Didirikan oleh tiga serangkai yaitu Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo dan K.H Dewantara. Selain itu pada periode radikal cara pencapain kemerdekaan dilakukan secara kooperatif dan non kooperatif (tidak mau bekerjasama dengan penjajah) organisasi ini antara lain Perhimpunan Indonesia, PKI dan PNI. Sedangkan pada periode bertahan organisasi yang muncul adalah Parindra, Gapi, Gerindro. Organisasi ini lebih bersikap moderat dan penuh pertimbangan. Karena pada masa itu pemerintah Belanda bersikap reaktif dan organisasi ini sangat berhati-hati agar tidak dibubarkan oleh pemerintah Belanda.
Bagaimanapun juga persatuan sangat penting untuk kelangsungan kebangkitan nasional bangsa Indonesia. Tanpa persatuan kemerdekaan tidak bisa direbut dari tangan penjajah. Selain itu, adanya organisasi-organisasi pergerakan nasional sebagai wadah perjuangan kaum pribumi untuk merebut kemerdekaan. 

Daftar Pusataka
Ricklefs,M.C.2007.Sejarah Indonesia Modern. Yogya  : Gadjah Mada University Press.

Indonesia dan Hak Asasi Manusia


      A.    Pendahuluan
Seperti yang kita ketahui masalah HAM (Hak Asasi Manusia) serta perlindungan atas dirinya merupakan bagian terpenting dalam demokrasi. Hak asasi manusia sendiri dianggap sebagai hak yang dimiliki setiap manusia atau inheren padanya, karena dia adalah manusia.[1] Hak ini sangat mendasar atau asasi (fundamental) sifatnya, yang mutlak diperlukan agar manusia dapat berkembang sesuai dengan bakat, cita-cita, serta martabatnya. Hak ini juga dianggap universal, artinya dimiliki semua manusia tanpa perbedaan berdasarkan bangsa, ras, agama, atau gender.[2] Namun apabila kita membahas tentang HAM, sangatlah luas untuk diperdebatkan. Karena praktek HAM di Indonesia sendiri apakah sudah berjalan dengan baik ?
Untuk membahas lebih dalam mengenai “HAM  dan Kewarganegaraan di Indonesia” kita harus tahu terlebih dahulu siapa pemikir dari terbentuknya konsep HAM tersebut. Cikal bakal konsep hak asasi manusia sendiri berasal dari pemikiran para filsuf dari dunia barat, antara lain John Locke (1632-1704). John Locke adalah filsuf yang merumuskan hak alam (natural rights) yang dimiliki manusia secara alamiah. Konsep hak asasi manusia sendiri bangkit lagi setelah perang Dunia II dengan adanya Deklrasi Universal Hak Asasi Manusia ( Universal Declaration of Human Rights, 1948) oleh negara yang tergabung dalam PBB.
Dalam diskusi para anggota PBB dalam Deklrasi Universal Hak Asasi Manusia dihasilkan dua perjanjian Internasional yaitu Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (1966). Setelah itu terjadi deklarasi Wina pada tahun 1993. Deklrasi WINA menghasilkan persetujua dari negara-negara Barat dan non Barat, bahwa hak asasi bersifat universal, walaupun dalam implementasinya berbeda-beda disetiap negara. karena hak asasi tersebut disesuaikan dengan kondisi dan ciri khas negara tersebut.
Konsep hak asasi manusia mulai semakin maju pada tahun 2002 dimana didirikan Mahkamah Pidana Internasional (Internasional Criminal Court atau ICC).  Tugas dari ICC sendiri adalah mengadili kasus pelanggaran terhadap kemanusian, genosida, dan kejahatan perang. Ini adalah sejarah dari konsep Hak Asasi Manusia itu sendiri. Dengan sedikit urain ini setidaknya bisa menambah pengetahuan dari tonggak sejarah Hak Asasi Manusi itu lahir. Setelah itu saya akan mejelaskan hubungan antara HAM dan Kewarganegaraan.
      B.     Hubungan HAM dan Kewarganegaraan
Saat kita membahas mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) tidak bisa terlepas dengan yang namanya Kewarganegaraan. Kenapa kedua hal ini sangat berkaitan ? Karena yang namanya HAM sendiri melekat pada diri manusia. Seorang manusia dilahirkan didunia mereka sudah memiliki hak asasi. Mereka mempunyai hak hidup, hak mendapatkan keamanan, hak untuk berkembang. Dimana hak  itu akan terpenuhi apabila mereka sebagai warga negara yang syah. Berarti bisa dikatakan pelaku HAM itu sendiri adalah warga negara.
Dalam konsep kewarganegaraan dimana seorang warga negara yang syah akan mendapatkan perlindungan hukum atas dirinya, yang terdapat pada UUD 1945. Sehingga kaitannya Hak Asasi Manusia dengan Kewarganegaraan adalah HAM yang melekat pada warga negara pasti akan mendapat perlindungan berbadan hukum oleh negaranya. Dan warga negara itu pasti kan dijamin atas hak-hak yang dimilikinya. Namun yang terpenting dalam praktek HAM jangan sampai menganggu keamanan dan kenyamanan orang lain.
      C.   Praktek HAM dan Kewarganegaraan di Indonesia
Praktek HAM di Indonesia sendiri jauh dari kata sempurna. Pada massa kepemimpinan Soekarno dan Soeharto sempat mengalami pasang surut. Karena pada era itu jauh dari semangat reformasi yang ingin memajukan hak asasi. Pada kenyataanya masih banyak pelanggarn hak secara vertikal maupun horizontal.
1.      Masa Demokrasi Terpimpin
pada masa Demokrasi Terpimpin yang namanya hak asasi juga mendapatkan tanggapan dari semua kalangan, baik para pendiri negara maupun masyarakat. Tidak jauh seperti pada negara barat khusunya benua Eropa. Namun yang menjadi catatan penting, bahwa pada saat dirumuskannya UUD 1945, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusi belum ada. Sehingga UUD 1945 tidak dapat dijadikan rujukan.
Selain itu pada saat rancangan UUD dibahas, ada perbedaan pendapat dalam memaknai peran hak asasi dalam negara demokratis. Banyak kalangan berpendapat bahwa Declaration des Droits de I’Homme et du Citoyen (1789) berdasarkan individualisme dan liberalism, dan karena itu bertentangan dengan asas kekeluargaan dan gotong royong.[3]
Walaupun perumusanya sangat pendek dalam UUD 1945, namun kita boleh bangga. Karena perumusan hak yang ada dalam UUD ada yang tidak terdapat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Contohnya hak kolektif, seperti hak bangsa menentukan nasib sendiri. Selain itu ada juga hak ekonomi, seperti hak atas penghidupan yang layak, , hak sosial budaya seperti pengajaran.
Namun pada dasarnya hak asasi di masa Demokrasi Terpimpin kurang diperhatikan. Karena kehidupan masyarakat sipil dinilai sudah demokratis, bahkan melampaui dari kata demokratis itu sendiri. Masa ini berakhir pada saat pengeluaran dekrit presiden (1955) oleh Presiden Soekarno untuk kembali lagi mengacu UUD 1945. Mulailaih babak baru, yaitu Demokrasi Terpimpin.
2.      Masa Demokrasi Terpimpin
Kembalinya UUD 1945 sebagai konstitusi negara, kemabalinya juga hak asasi oleh keterbatasan jumlah. Pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno hak asiasi mulai dibatasi, seperti hak berpendapat. Selain itu partai-partai dibubarkan, beberapa surat kabar dibreidel. Selain itu pemenuhan hak ekonomi diabaikan, tidak ada kejelasan mengenai hak asasi ekonomi.
Biro yang merancang perencanaan lima tahun pembangunan (1956-1961) hanya dilaksanakan satu tahun, dan dibubarkan. Rencana itu diganti dengan delapan tahun pembangunan, namun sama sekali tidak dilaksanakan. Pada saat itu perekonomian Indonesia sangat buruk dan tidak bisa dikembalikan seperti semula oleh Presiden Soekarno. Dan pada akhirnya Demokrasi Terpimpin bubar dan diganti oleh Demokrasi Pancasila (Orde Baru).
3.      Masa Demokrasi Pancasila
Pada masa Demokrasi Pancasila atau bisa dikatakan pada masa Orde Baru harapa masyarakat atas hak asasi sangat tinggi  antusiasnya. Banyaknya kaum cendikiawan dalam menyelenggarakan seminar dan diskusi merupakan usaha dalam memperjuangkan masalah hak asasi. Namun demokrasi itu tidak berlangsung lama. Karena para golongan militer mangambil alih kepemimpinan.
Akibat dari hal ini kebebasan mengutarakan pendapat banyak diabaikan dan dilanggar. Selain itu terdapat pengekangan terhadap pers . banyak kasus kekerasan terjadi, dan hal itu tidak sesuai dengan hak asasi manusia.  Dan pada akhirnya Soeharto dijatuhkan dari kursi kepemimpinannya oleh para mahasiswa pada tanggal 21 Mei 1998.
Namun walaupun begitu pemenuhan HAM dalam bidang ekonomi dan pendidikan bisa dikatan mengalami kemajuan pesat. Para kelompok miskin dipenuhi kehidupannya atas subsisdi beras. Selain itu dijaminannya hak dalam pendidikan, dengan adanya wajib belajar 6 tahun.
Selain itu akibat dari majunya pendidikan telah mengahsilakan para cendikiawan dalam kalangan elit. Dimana mereka sadar akan pembatasan hak politik. Dan akhirnya tuntutan-tuntutan mulai diluncurkan, mereka menuntut reformasi adanya perubahan yang lebih baik. Karena mereka sadar bahwa mereka tidak hanya butuh hak ekonomi dan pendidikan, melainkan juga butuh hak politik.
4.      Masa Reformasi
Sebelumnya kita sudah melihat sendiri, bagaimana HAM dan Kewarganegaraan pada masa Orde Baru. Dimana yang namanya hak untul berpendapat sanat dibatasi sekali. Bahkan banyaknya media massa yang dibreidel tidak boleh mengeluarkan pemberitaan mengenai pemerintah. Selain itu pemenuhan hak politik pada prakteknya sangat lemah.
Sedangkan pada awal Reformasi mancangkan Rencana Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM), namun pada implementasinya semua itu belum terlaksana dengan baik. Dalam masa Reformasi pula Indonesia meratifikasi dua Konvensi Hak Asasi Manusia yang penting yaitu Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukum lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau merendahkan, dan Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.[4]
Namun walaupun Indonesia sudah melakukan konvensi mengenai HAM dan ikut serta dalam perjanjian-perjanjian Internasional, tapi dalam prakteknya tetap masih ada permasalahan mengenai HAM. Seperti konflik antar daerah, kekerasan pada perempuan, tentang agama.
4.1  Kasus hak asasi anak
Anak adalah anugrah yang terindah bagi orang tua yang mengidam-idamkan seorang keturunan bagi generasinya. Namun sering kali anak tidak mendapatkan kasih sayang dan perlakuan baik dari orang tuanya. Banyak anak yang disengsarakan oleh orang tuanya sendiri. Kasus ini harus menjadi perhatian yang serius oleh semua kalangan, baik dari pemerintah maupun masyarakat sendiri. Karena kasus anak bersangkutan atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Apabila kita melihat fenomena di negara kita mengenai pelanggaran hak asasi anak, banyak sekali permasalahan yang terjadi. Mulai dari dipekerjakannya anak dibawah umur. Banyaknya para pengemis terutama anak-anak dibawah umur sangatlah menyedihkan bagi bangsa ini. Dimana anak-anak dibawah umur, seharusnya mereka dapat bermain dengan teman-temannya dan menikmati masa kecilnya sebagai seorang anak. Selain itu, seharusnya mereka memperoleh pendidikan dibangku sekolah.
Namun pada kenyataanya semua itu tidak seperti yang dibayangkan. Mereka harus menjadi pengemis di perempatan jalan, dan masa kecilnya harus direnggut oleh pekerjaan itu. Hal itu tidak sesuai dengan yang namanya HAM. Faktor yang mlatarbelakangi anak-anak menjadi pengemis sangat banyak. Dimana seorang anak dipaksa orang tua untuk mengemis agar dikasihhani dan diberi uang. Hal itu merupakan kurang tanggung jawabnya orang tua terhadap pemenuhan kebutuhan anak. Selain masalah dijadikannya anak sebagai pengemis, banyak lagi masalah pelanggaran HAM anak yang perlu kita ulas.
Seperti yang sering kita lihat pada media massa kekerasan pada anak, hal ini merupak praktek dari pelanggaran HAM. Dimana seorang anak mendapatkan perlakuan kasar dari orang tuanya. Kita sering melihat dimana anak sering dihajar orang tuanya, sampai-sampai anak itu kabur dari rumah. Terkadang trauma yang mendalam akibat kekerasan sangat berpengaruh terhadap mental seorang anak itu sendiri. Dari trauma yang mendalam mengakibatkan anak menjadi depresi. Hal ini yang sangat merusak dari mental anak itu sendiri.
Masalah lain yang baru-baru ini hangat dibicarakan adalah kekerasan guru terhadap muridnya. Banyaknya guru melakukan tindakan kekerasan kepada muridnya, merupakan pencitraan yang buruk sebagai seorang pendidik. Dimana seharusnya memberikan contoh suri tauladan yang baik, tapi ini malah melakukan tindakan kekerasan.
Setiap dimintai keterangan, banyak guru yang berdalil bahwa perbuatan yang dia lakukan dikarenakan murid tersebut bandel dan tidak mau diingatkan. Namun pada dasarnya dalam mendidik anak kita harus sabar dan menggunakan  kehalusan, bukan sikap keras agar dia takut. 
Dalam urain kasus diatas mengenai pelanggaran HAM terhadap anak. Pemerintah sendiri sudah memperhatikan kausus-kasus tersebut. pemerintah seniri mendirikan lembaga perlindungan anak, lembaga itu sendiri bernama Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI sendiri bertugas melindungi anak dari tindakan kekerasan, pelanggaran atas hak anak dan sebagai lembaga yang mengurusi permasalahan tentang anak di Indonesia.
KPAI sendiri dalam menjalankan tugasnya sudah cukup baik. Namun kesadaran masyarakat mengenai HAM masih lemah. Hal itu yang menyebabkan banyak pelanggaran HAM terhadap anak. Terkadang seorang mengartian HAM sendiri adalah kebebabsan dala melakukan semua perbuatan. Terlebih lagi orabg tua merasa punya hak untuk melakukan tindakan yang keras bagi anaknya yang bandel. Sehingga terjadi tindakan kekerasan terhadap anak.
Pemerintah sendiri seharusnya memiliki langkah-langkah yang jitu dalam melakukan praktek HAM di Indonesia sehingga dapat berjalan sesuai dengan ketentuannya.  Praktek HAM sendiri di Indonesia sangatlah lemah. Kurang tegasnya penegak hukum mengakibatkan orang berani melanggar hak asasi orang lain. Oleh karena itu perlu ditingkatkan ketegasan dan kejelasan hukuman bagi pelaku pelanggar HAM. Sehingga orang menjadi jera, apabila dia melakukan perbuatan-perbuatan yang mengaggu Hak Asasi Manusia.
D.  Peluang, masalah dan strategi kedepan agar hak terpenuhi.
 Dewasa ini masyarakat tidak asing lagi dalam perdebatan mengenai HAM. Namun praktek HAM di Indonesia sendiri jauh dari kata sempurna atau terlaksana dengan baik. Hal itu dikarenakan pandangan masyarakat mengenai HAM sendiri belu benar. HAM sendiri dimaknai sebagai kebebasan seseorang dalam melakukan praktek hak-hak yang dimilikinya dan terkadang kurang memperhatikan hak orang lain juga. Hal ini yang menjadi permasalahan dalam penerapan HAM di Indonesia.
Namun kita tidak perlu psimis dalam melakukan perubahan praktek HAM menuju yang lebih baik. Karena tidak ada yang tidak mungkin, apabila kita semua segenap warga negara mau melakukan perubahan. Peluang kedepan juga akan memungkinkan praktek akan menuju lebih baik, karena kemajuan teknologi pengetahuan, membuat manusia juka semakin pandai dalam memekanai kehidupan. Sehingga dalam memaknai HAM juga akan lebih baik dari pada sebelumnya. Dari hal itu perubahan pasti akan terjadi dengan jalannya waktu dan perkembangan zaman.
Strategi kedepannya dalam mewujudkan hak-hak warga negara kita bisa lakukan dengan memaknai kata HAM secara benar. Seharusnya dalam praktek HAM sendiri harus dilandasi dengan pemahaman, bahwa HAM harus memperhatikan keamanan, kenyamanan, dan kepentingan orang lain. Sehingga terjadi saling menghargai atas hak orang lain. Hal ini akan mengurangi praktek pelanggaran HAM yang ada di Indonesia. Dan pemenuhan HAM sendiri akan berlangsung membaik daripada sebelumnya.
E.  Kesimpulan
Dari sedikit ulasan diatas kita dapat menarik kesimpulan, bahwa praktek HAM dan Kewarganegaraan di Indonesia belum bisa berjalan dengan baik. Pemaknaan HAM yang belum sesuai dengan konsepsi HAM, membuat pelaksanaanya belum bisa sempurna. Selain itu sering terjadi konflik akibat keenekaragaman budaya. Sebenarnya sebagai warga negara yang memahami tentang hak asasi, keanakearagamaan yang ada di Indonesia tidak harus dijadikan alasan dalam pelaksanaan HAM. Perbedaan itu harus bisa disikapi dengan rasa toleransi yang dijunjung tinggi oleh warga negara maupun pemerintah. Sehingga pelaksanaan HAM dapat terwujud seperti cita-cita HAM sendiri, yaitu menghargai Hak Asasi Manusia dengan memperhatikan keamanan, kenyamanan, dan kepentingan orang lain.

Daftar Pustaka

Budiardjo, M. (2007). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Rozak, A. (2010). Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.



[1] Budiardjo, P. M. (2007). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal.211

[2] Ibid, hal. 212
[3] Ibid, hal. 248
[4] Ibid, hal. 255

Civil Society: Lembaga Bantuan Hukum


Indonesia sebagai negara penganut sistem demokrasi tidak bisa dilepaskan dengan adanya masyarakat sipil. Karena dalam demokrasi memerlukan publik yang terorganisasi untuk demokrasi, tersosialisasikan ragam norma dan nilainya, dan berkomitmen bukan hanya dengan segenap kepentingan sempitnya melainkan pada tujuan-tujuan masyarakat yang lebih luas. Model semacam ini bisa diwujudkan melalui adanya “masyarakat sipil” yang dinamis.  Masyarakat sipil melingkupi kehidupan sosial terorganisasi yang terbuka, sukarela, lahir secara mandiri, setidaknya swadaya secara parsial, otonom dari negara, dan terikat pada tatanan legal atau seperangkat nilai-nilai bersama.[2] Sehingga masyarakat sipil berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Karena pengertian “masyarakat” secara umum adalah keterlibatan warga negara yang bertindak secara kolektif dalam ruang publik untuk mengekspresikan kepentingan-kepentingan, hasrat pilihan, dan ide-ide mereka, untuk bertukar informasi, mencapai sasaran kolektif, mengajukan tuntutan kepada negara, memperbaiki struktur dan fungsi negara, dan untuk menuntut akuntabilitas pejabat negara.[3] Oleh karena itu posisi masyarakat sipil terletak di antara negara dan ruang privat.
Masyarakat sipil sendiri berbeda dengan masyarakat parokial, masyarakat ekonomi, dan masyarakat politik. Masyarakat parokial mementingkan kehidupanya sendiri, keluarga dan kelompok internal seperti ibadah, agama, rekreasi, hiburan, dan spiritualis. Sedangkan masyarakat ekonomi dalam kegiatanya berusaha mencari keuntungan dengan cara membuka usaha dan perusahaan-perusahaan bisnis individu maupun kelompok. Bukan juga masyarakat politik yang tujuannya memperoleh kekuasaan dalam pemerintahan suatu negara. Dalam masyarakat sipil mencakup semua aktor terorganisasi (dalam demokrasi, terutama partai-partai politik dan organisasi kampanye).[4] Walaupun masyarakat parokial dan masyarakat ekonomi tidak berorientasi pada kepentingan sipil dan ruang publik, namun keduanya dapat membantu menciptakan norma dan pola-pola keterlibatan cultural yang dapat meluas ke ruang publik.
Masyarakat sipil pada intinya berorientasi pasar, sehingga para aktor di dalamnya mengakui prinsip-prinsip otoritas negara dan rule of  law. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan jaminan rasa aman atas perlindungan tatanan hukum yang terlembagakan. Selain itu terdapat lima hal yang membedakan oraganisasi masyarakat sipil dengan kelompok-kelompok yang lainnya. Pertama, masyarakat sipil memusatkan perhatiannya pada tujuan-tujuan publik bukan tujuan privat. Kedua, masyarakat sipil dalam beberapa hal berhubungan dengan negara tetapi tidak berusaha merebut kekuasaan atas negara atau mendapat posisi dalam negara; ia tidak berusaha “mengendalikan politik secara menyeluruh”. Ketiga, masyarakat sipil mencakup pluralisme dan keragaman. Keempat, masyarakat sipil tidak berusaha menampilkan seluruh kepentingan pribadi atau komunitas. Kelima, masyarakat sipil haruslah dibedakan dari fenomena Civic community.[5] Dengan memahami penjelasan diatas mengenai masyarakat sipil. Mini riset saya yang membahas Lembaga Bantuan Hukum, termasuk dalam kategori masyarakat sipil. Karena sesuai dengan konsep masyarakat sipil itu sendiri.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di dirikan atas gagasan pada saat kongres Persatuan Advokasi Indonesia (Pradin) ke III tahun 1969. Gagasan tersebut mendapatkan persetujuan dari Dewan Pimpinan Pusat Peradin melalui surat keputusan Nomor 001/Kep/10/1970 tanggal 26 Oktober 1970 yang isinya penetapan pendirian Lembaga Bantuan Hukum/Lembaga Pembela Umum yang mulai berlaku tanggal 28 Oktober 1970. Sejak 25 April 2007 Ketua Dewan Pembinanya adalah Toety Heraty Roosseno yang terpilh menggantikan Adnan Buyung Nasution. Pada Akhir masa jabatannya, Toeti untuk sementara digantikan oleh Todung Mulya Lubis dan secara definit pada akhir 2011 dijabat oleh Abdul Rachman Saleh. Setelah beroperasi selama satu dasawarsa, pada 13 Maret 1980 status hukum LBH ditingkatkan menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Meskipun begitu, 28 Oktober tetap dijadikan sebagai hari ulang tahun LBH. Gagasan penderian LBH ini adalah untuk memberikan bantuan hukum bagi orang-orang yang tidak mampu memperjuangkan hak-haknya, seperti rakyat miskin yang digusur, dipinggirkan, dan keseharian pelanggaran atas hak-hak asasi mereka. Pada saat rezim otoriter Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto membawa LBH sebagai salah satu subyek kunci bagi perlawanan terhadap otoriterianisme dan menjadi simpul penting bagi gerakan pro-demokrasi. Prinsip-prinsip bagi penegakan demokrasi, hak asasi manusia dan keadilan, membawa LBH masuk dalam perlawanan atas ketidakadilan struktural yang dibangun pada saat Orde Baru. LBH memilih berada di sisi pergerakan kaum buruh, kaum miskin kota, petani, mahasiswa dan semua kekuatan yang memperjuangkan demokrasi.[6] Paparan diatas merupakan sejarah berdirinya LBH.
Fokus mini riset saya meneliti LBH yang berada di Yogyakarta. LBH ini didirikan pada tanggal 30 Juni 2012. Dan resmi berbadan hukum pada hari selasa tanggal 18 September 2012 setelah terdaftar di pengadilan negri Bantul dibawah nomor 262/LL/IX/2012 KUM. 01.01/PN.BTL. Selain itu, Pak Abung sebagai pendiri LBH juga bergerak pada isu perlindungan konsumen dengan membentuk Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen Indonesia (LAPKI) yang disahkan pada tanggal  7 Juni 2012. Sesuai dengan UU No 8 Tahun 1999 dan PP No 59 Tahun 2011 tentang pembentukan lembaga perlindungan konsumen.  LBH dengan slogan “Pedjoeang Keadilan” berkantor di Perum Trimulyo Rt.10, Desa Trimulyo, Kec. Jetis, Kab. Bantul. Provinsi DIY. LBH ini di ketuai oleh Abung Nugraha, S.Sos, SH (ketua), Widodo (wakil), Widi Asmara Jati (bendahara), Dendi Artstdenanto (sekretaris). LBH sebagai lembaga yang berdiri secara mandiri, otonom, tanpa ada bantuan dari pemerintah, bertujuan membantu masyarakat yang mempunyai permasalahan hukum. Meskipun mereka datang ke LBH dengan membawa biaya seadanya, dan terkadang tanpa adanya biaya. Para anggota yang terdapat di LBH tetap membantu dalam menyelesaikan perkara. Karena pada intinya LBH bertugas membantu masyarakat yang tidak mampu. Di sinilah peran LBH membantu masyarakat secara sukarela dengan senang hati dan mendampingi dalam menuntaskan masalah, walaupun terkadang mereka tidak mendapatkan uang setelah menangani permasalahan tersebut. Kerena LBH tidak tertuju pada pencarian keuntungan, tapi lebih kepada tindakan kemanusian yang bersifat sukarela. Selain itu, pada dasarnya setiap warga negara yang terkena kasus hukum, baik mereka benar atau salah, mereka berhak mendapatkan pembelaan dan didampingi oleh kuasa hukum.
Yang perlu di ketahui  bahwa LBH berbeda dengan kantor hukum, meskipun sama-sama menangani permasalahan hukum. Kantor hukum bersedia menangani masalah bila ada biaya operasional dan jasa pengacara dari client. Sedangkan LBH dengan sukarela menangani setiap permasalahan yang diadukan oleh masyarakat, walaupun tidak diabayar sama sekali. Dalam menangani masalah, ada dua cara penyelesaian yang  digunakan LBH. Secara litigasi maupun non litigasi. “Litigasi” adalah penyelesaian masalah dengan jalur pengadilan. Sedangkan “non litigasi” penyelesaian dilakukan di luar pengadilan, dengan jalan damai. LBH sendiri memilih jalur non litagasi unutk penyelesaian perkara. Namun apabila dari pihak lawan tidak mau damai, terpaksa LBH menempuh jalur pengadilan sebagai penyelesaian perkara. Contoh perkara yang ditangani LBH, seperti perkara pidana, perkara perdata, sengketa tanah, kasus perceraian, perkara bisnis, hutang piutang dan kepailitan, tata usaha negara, ketenaga kerjaan. Namun disetiap aggota LBH sendiri mempunyai komitmen, bahwa LBH tidak menangani kasus korupsi dan pelecehan seksual. Hal ini yang merupaka kode etik dari LBH.
Dalam kegiatannya LBH melakukan sosialisasi kepada warga masyarakat, mengenai kasus hukum dan produk-produk makanan dan bahaya dari penggunaan zat makanan. Agar sosialisasi berjalan dengan lancar, LBH bekerjasama dengan warga masyarakat, terutama kepala desa, rt, dan orang yang berpengaruh di daerah tersebut. Sosialisasi ini dimaksudakan agar warga masyarakat mengetahui tentang permaslahan hukum, bagaimana penanganannya, dan hal yang berkaitan dengan produk-produk yang di kosumsi. Karena apabila ada penyalahgunaan zat-zat berbahaya dalam produk makanan, minuman maupun obat-obatan bisa terkena masalah pidana karena melanggar hukum. Di sinilah Peran LBH yang saling bekerjasama dengan LAPKI.  Karena LBH dan LAPKI bisa saling beriringan dalam melakukan kegiatan-kegiatannya. LBH juga tidak cuma menangani kasus hukum yang berada di Yogyakarta, melainkan di daerah-daerah lain juga. Walaupun di daerah lain juga sudah ada LBH. Namun mereka dengan sukarela membantu warga masyarakat yang membutuhkan bantuannya. Karena jaringan LBH yang luas dan menyebar di seluruh Indonesia, hal ini yang memudahkan mereka untuk saling bekerjasama dalam menangani perkara. Pak Abung sendiri selaku ketua LBH, dia mempunyai rencana bahwa bulan September akan mendirikan LSM yang kegiatannya sebagai “pemantau kebijakan publik dan pemantau kinerja aparatur pemerintah”. LSM ini didirikan guna mengontrol kinerja dari pemerintah. Sehingga apabila suatu pemerintahan terdapat aktor-aktor yang dalam kinerjanya terindikasi berbuat hal yang tidak sesusai, mencurigakan bisa segera ditindak lanjuti. Selain itu guna kegiatan dari LSM ini bisa memberikan transparasi kinerja pemerintah kepada masyarakat.
Untuk mendukung kelangsungan kegiatan dari LBH sendiri pasti butuh dana/biaya. Seperti yang kita ketahui bahwa sumber pendanaan masyarakat sipil secara umum di kategorikan dalam dua bagian. Sumber internal dan sumber eksternal. Sumber pembiyaan internal adalah dana yang bersumber dari internal lembaga atau “internal income” (termasuk dalam personil lembaga) dan dari usaha-usaha yang dilaksanakan oleh lembaga. Pada sebagian besar Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), sumber pembiayaan internal ini sangatlah terbatas, bahkan tidak ada sama sekali. Internal income memang cenderung dimiliki oleh NGO yang sudah lebih “eksis”. Sedangkan sumber eksternal adalah semua penerimaan dari luar lembaga.[7] Sebagai LBH yang baru berdiri (belum sampai satu tahun) sangatlah sulit untuk mendapatkan sumber pendanaan. Hal ini dikarenakan masih belum ada relasi dengan lembaga donor, terutama yang berasal dari luar negri. Karena lembaga donor yang mau memberian bantuan dengan jumlah yang banyak, biasanya dari luar negri. Untuk sementara ini LBH mendapatkan dana dari sumber internal anggotanya. Dimana setiap anggota dari LBH melakukan iuran demi keberlangsungan kegiatannya. Selain itu pendanaan LBH di dapatkan dari hasil pelayanan jasa intelektual, seperti saat penanganan kasus. Di LBH sendiri untuk penangan kasus pasti ada tarif tersendiri, namun apabila dari pihak yang bermasalah benar-benar tidak mempunyai uang untuk membayar/ tidak mampu, LBH tetap menangani perkara ini dengan sukarela. Tanpa memaksa client untuk membayar. Dari sinilah sumber pendanaan internal LBH. Pak Abung juga menegaskan,” bahwa di LBH tidak ada uang, tapi banyak perkara. Kami mengani perkara ini dengan sukarela. Karena kami terjun di masyarakat sipil sudah mempunyai komitmen, tenaga dan pikiran kita untuk membantu masyarakat. Sehingga kami tidak di gaji pun rela melakukannya.”
Sebenarnya ada bantuan dana untuk LBH seluruh Indonesia,yang datangnya dari Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Namun LBH yang bisa mendapatkan dana bantuan harus dengan syarat, minimal LBH sudah berjalan selama tiga tahun. Sedangkan LBH yang di Yogyakarta, khususnya berada di Bantul, usianya belum genap satu tahun. Sehingga jarak mereka masih jauh untuk mendapatkan bantuan dari Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sebenarnya bantuan dana yang diberikan sangatlah besar, sekitar 40,6 miliar untuk LBH seluruh Indonesia. Untuk penanganan satu perakara, LBH mendapatkan dana bantuan sebesar 6 juta.
Sedangkan dari sumber eksternal, seperti lembaga donor, LBH sendiri belum mendapatkan bantuan. Permasalahan ini bukan karena LBH yang baru saja berdiri dan sedikit relasi terhadap lembaga donor. Karena lebih tepatnya, para aktor yang terdapat di LBH ini malas untuk membikin dan mengajukan proposal kepada lembaga donor. Padahal sebenarnya para aktor di LBH sendiri memiliki banyak alamat lembaga donor yang bisa diajukan untuk memberikan bantuan. Seperti lembaga donor Global Manistries, OGB, Yapka dan masih banyak lagi. Pak Abung sendiri mengatakan,” bahwa sebenarnya megajukan bantuan kepada lembaga donor tidaklah sulit. Karena banyak macam-macam lembaga donor yang ingin membantu jalanya civil society, selain itu anggran yang diberikan jumlahnya besar hingga ratusan juta.”
Namun seperti yang sudah dijelaskan oleh Pak Frans Toegimin tentang pembiayaan organisasi masyarakat sipil (OMS) pada saat mata kuliah masyarakat sipil. Pada intinya masyarakat sipil di Indonesia masih lemah dalam mencari bantuan dari lembaga donor. Hal ini dikarenakan kurang mahirnya dalam pembuatan proposal program-program kegiatan OMS. faktor yang melatarbelakangi kurang mahirnya membuat proposal pendanaan adalah 1. Anggota OMS memang benar-benar tidak bisa membuat proposal yang baik dan benar, namun mereka juga malas untuk berlatih. 2. Ada juga anggota yang sudah bisa dan mampu membuat proposal pendanaan, namun mereka malas untuk mengajukan bantuan ke lembaga donor. Dua faktor ini yang menyebabkan lemahnya pembiayaan OMS di Indonesia. Akibatnya OMS di Indonesia kurang berkembang, mudah berhenti dalam program kegiatannya karena tidak ada dana dan mudah membubarkan diri.
Permasalahan ini juga yang sedang dialami oleh LBH. Untuk pendanaan dari sumber luar mereka belum mendapatkan sama sekali. Pak Abung sendiri menjelaskan, bahwa sebenarnya banyak lembaga donor yang bisa dimintai bantuan dana. Dana yang diberikan pun tidak tangung-tanggung, nominalnya hingga ratusan juta. Selain itu, Pak Abung sendiri memiliki data-data yang sangat lengkap mengenai lembaga donor yang bisa memberikan bantuan kepada masyarakat sipil. Namun Pak Abung sendiri mengaku, bahwa dirinya malas untuk membuat dan mengajukan proposal lembaga donor agar mendapatkan bantuan. Hal itu bukan dikarenakan Pak Abung tidak pandai membuat proposal, tapi lebih tepatnya dia malas. Mental yang seperti ini yang menjadikan masyarakat sipil di Indonesia kurang berkembang, karena untuk mencari dana agar bisa mendukung progrmanya aja malas. Namun untuk kedepannya LBH akan mencoba mengajukan bantuan ke lembaga donor. Agar perjalanan LBH tidak terkendala oleh pendanaan yang kurang. Pak Abung menegaskan,” bahwa mulai bulan depan, lebih tepatnya agustus, para anggota LBH akan mencoba membuat proposal dan diajukan ke lembaga donor. Agar mendapatkan dana untuk mendukung kegiatannya dalam mengadvokasi masyarakat yang mengalami permasalahan hukum”
Dengan hadirnya LBH sendiri sangat bermanfaat bagi masayarakat, terutama masyarakat tidak mampu yang mempunyai masalah hukum.  Karena dengan adanya LBH, masalah tersebut dapat diselesaikan tanpa harus mengeluarkan banyak biaya. LBH membantu permasalahan dengan biaya seadanya dan terkadang tidak ada biayapun mereka tetap mau membantu. Berbeda dengan kantor hukum yang mau menangani masalah bila ada dana operasional dan sewa pengacara. Hal ini yang membuat masayarakat kalangan masayarakat bawah sulit untuk mengakses dan medapatkan pelayanan di kantor hukum.  Selain itu LBH yang juga bergerak di perlindungan konsumen, perananya sangat besar di masyarakat. Karena dengan selalu sosialisasi mengenai produk- produk makanan, bahan-bahan dan zat-zat yang tidak boleh digunakan dalam makanan, secara tidak langsung telah menambah pengetahuan masyarakat dan mengantisipasai hal-hal yang buruk.
Para aktor yang berada di LBH pun senang bisa terjun sebagai masayarakat sipil. Karena dengan posisi mereka yang dekat dengan masayarakat, idealisme mereka bisa terwujud dan tetap bisa dipertahankan. Karena dengan  terjun di LBH mereka bisa membantu masayarakat yang memang benar-benar memberikan bantuan. Dan dalam membantu disertai rasa sukarela tanpa harus memperhitungkan keuntungan yang mereka dapatkan.berbeda lagi kalau kita berada dalam lingku pemerintahan, kita tidak bisa mewujudakan idealisme kita sepenuhnya.karena kita harus mengikuti sistem yang sudah berlaku. Apabila dari pemerintahannya sudah korup, pasti yang berada dibawahnya juga akan terkena imbasnya. Dan disitu kita sama saja berada didalam suatu ruang yang kotor. Karena pada dasarnya yang namanya sistem mustahil untuk dilawan, pasti kita akan terbawa oleh arus sistem itu.
Dari hasil penjelasan diatas, LBH sendiri termasuk dalam kategori masyarakat sipil. Karena LBH sesuai dengan konsep-konsep dan kriteria masayarakat sipil yang sudah dijelaskan oleh Larry Diamond dalam bukunya “Developing Democracy Toward Consolidation”. Dimana LBH berada dalam kehidupan sosial yang bergerak dalam bidang hukum memang benar-benar lahir secara mandiri, tanpa ada bantuan dari pemerintahan maupun privat sector. Dalam kegiatannyapun LBH berbeda dengan masayarakat ekonomi maupun masyarakat parokial. Karena dalam membantu masayarakat yang terkena masalah hukum, LBH dengan sukarela membantunya tanpa ada orientasi yang berujung pada keuntungan. Untuk mendukung kegiatan dari LBH sendiri, para anggotnya mengumpulkan dana dari iuran anggotanya untuk sementara ini. Karena mereka belum mendapatkan dana dari bantuan lembaga donor, tetapi mereka tetap mengusahakannya. Sebagai masyarakat sipil, LBH juga terikat pada tatanan legal atau seperangkat nilai-nilai bersama. Dimana LBH sebagai suatu lembaga sudah disyahkan dan resmi berbadan hukum pada hari selasa tanggal 18 September 2012 setelah terdaftar di pengadilan negri Bantul dibawah nomor 262/LL/IX/2012 KUM. 01.01/PN.BTL. Selain itu LBH juga mempunyai aturan-aturan formal yang harus dipatuhi oleh setiap anggotanya. Dengan demikian sudah jelas bahwa LBH termasuk dalam kategori masyarakat sipil yang memusatkan perhatiannya pada tujuan-tujuan publik.

Daftar Isi
Buku            : Diamond, L. (2003). Developing Democracy toward consolidation.             Yogyakarta: IRE Press Yogyakarta
Wawancara: Hasil wawancara dengan ketua LBH Yogyakarta kantor cabang Bantul  Bapak                                          Abung Nugraha, S.Sos, SH



[1] Mini riset mengenai Lembaga Bantuan Hukum (LBH)  sebagai tugas  UAS mata kuliah “Masyarakat Sipil” pada hari Jumat,  Tanggal 28  Juni 2013.
[2] Diamond, L. (2003). Developing Democracy toward consolidation. Yogyakarta: IRE Press Yogyakarta. Hal. 278.

[3] Loc. cit.
[4] Ibid, Hal. 279.
[5] Diamond, L. (2003). Developing Democracy toward consolidation. Yogyakarta: IRE Press Yogyakarta. Hal. 280-283.


[6] Data tersebut di dapatkan dari hasil wawancara dengan ketua LBH Yogyakarta kantor cabang Bantul  Bapak Abung Nugraha, S.Sos, SH
[7] Dikutip dari bahan bacaan yang berjudul “Pembeayaan Oraganisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Indonesia” ditulis oleh Frans Toegimin, untuk pertemuan mata kuliah masyarakat sipil pada hari Senin, 3 Juni 2013.

Rational Choice dan Struktural: Perilaku Pemilu Dalam Demokrasi


Pemilu adalah arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan yang didasarkan pada pilihan formal dari warga negara yang memenuhi syarat. Peserta pemilu dapat berupa perseorangan dan partai politik tetapi yang paling utama adalah partai politik. Partai politik mengajukan kandidat dalam pemilu untuk kemudian dipilih oleh rakyat.  
Pada zaman modern ini pemilu menempati posisi penting karena terkait dengan beberapa hal. Pertama, pemilu menjadi mekanisme terpenting bagi keberlangsungan demokrasi perwakilan. Ia adalah mekanisme tercanggih yang ditemukan agar rakyat tetap berkuasa atas dirinya. Perkembangan masyarakat yang pesat, jumlah yang banyak, persebaran meluas dan aktifitas yang dilakukan semakin beragam menjadikan komplesitas persoalan yang dihadapi rakyat semakin variatif. Kondisi tersebut tidak memungkinkan rakyat untuk berkumpul dalam satu tempat dan mendiskusikan masalah-masalah yang mereka hadapi secara serius dan tuntas. Akhirnya muncul demokrasi perwakilan sebagai keniscayaan dengan pemilu sebagai mekanisme untuk memilih wakilnya.
Kedua, pemilu menjadi indikator negara demokrasi. Bahkan, tidak ada satupun negara yang mengklaim dirinya demokratis tanpa melaksanakan pemilu sekalipun negara itu pada hakekatnya adalah otoriter. Ketika prespektif Schumpetarian tentang demokrasi, yaitu demokrasi sebagai “metode politik” mendominasi teorisasi demokrsai maka pemilu menjadi elemen paling penting dari ukuran negara demokrasi. Bahkan Prezeworski dan rekan-rekannya mendefinisikan demokrasi sebagai “sekedar rezim yang menyelenggarakan pemilihan-pemilihan umum untuk mengisi jabatan-jabatan pemerintahan” (dengan ketentuan bahwa persaingan yang sebenarnya mensyaratkan adanya oposisi yang memiliki kesempatan memenangkan jabatan publik, serta bahwa posisi kepala eksekutif dan kursi legislatif diisi melalui pemilu).[1]
Pemilu bukalanlah mekanisme yang sederhana dalam pemaknaan wujud dari demokrasi. Karena pemilu sendiri adalah “jalan dua arah “ yang disediakan untuk pemerintah dan rakyat, elit dan massa dengan adanya kesempatan untuk saling mempengaruhi. Sebagai “jalan dua arah” fungsi pemilu secara garis besar terumuskan dalam dua prespektif yaitu prespektif bottom-up dan top-down.[2] Dalam fungsi bottom-up diantaranya fungsi pemilu sebagai: pertama, sebagai rekruitmen politisi. Dimana individu yang mempunya kemampuan dan pengetahuan dibidang politik, dirinya bisa bergabung dengan partai politik. Dirinya bisa maju dalam pemilu, apabila partai politik tersebut menominasikan atau mencalonkan individu tersebut. Kedua, membentuk pemerintahan. Bagi negara yang menganut sisitem presidensil dapat membentuk pemerintahan secara langsung. Karena eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Namun di negara yang menganut sistem parlementer pemilu lebih mempengaruhi formasi pemrintah dimana derajat yang mempengaruhinya tergantung pada sistem pemilu yang digunakan. Ketiga, sarana membatasi perilaku dan kebijkan pemerintah. Para penguasa yang agendanya sudah tidak disenangi oleh rakyat, maka bisa dikontrol perilakunnya dalam pemilu periodik berikutnya. Dengan hukum, rakyat mengalihkan dukungan suara kepada kandidat atau partai lain yang dianggap bisa melakukan perubahan menuju yang lebih baik.
Sedangkan dalam prespektif top-down fungsi pemilu adalah: pertama, meberi legitimasi kekuasaan. Penguasa yang terplih dalam pemilu otomatis memiliki legalitas dan memiliki keabsahan untuk memerintah.  Kedua, sirkulasi dan penguatan elit. Sirkulasi elit dalam pemilu melalui tahap seleksi kandidat. Dan proses akhir dari sirkulasi elit adalah mereka yang duduk dalam jabatan eksekutif maupun legislatif. Ketiga, menyediakan perwakilan. Dengan pemilu rakyat dapat memiih wakil-wakil mereka yang akan menduduki jabatan pemerintahan. Dan wakilnya itu sebagai penyambung kepentingan rakyat atas berbagai permasalahan yang dihadapi rakyat. Keempat, sarana pendidikan politik. Dengan adanya pemilu yang langsung, terbuka, dan missal diharapkan bisa mencerdasakan pemahaman politk dan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai demokrasi.
Diluar fungsi pemilu sebagai “jalan dua arah”  yang lebih bersifat vertikal, terdapat juga fungsi pemilu dalam dimensi horisontal. Dalam dimensi horisontal pemilu berfungsi sebagai: pertama, arena pengelolaan konflik kepentingan. Karena dalam masyarakat setiap kepentingan orang berbeda-beda. Maka agar tidak terjadi anarkisme, konflik kepentingan itu ditransfer melali  berbagai lembaga perwakilan yang terdapat dalam negara demokrasi yang pembentukannya melalui pemilu. Kedua, sarana menciptakan kohesi dan solidaritas sosial. fungsi ini kelanjutan dari fungsi pemilu sebagai arena pengelolaan konflik. Dengan adanya transfer konflik ke lembaga-lembaga perwakilan, maka diharapkan perbedaan yang ada tidak menjadi fragmentasi sosial.
Melihat penjelasan diatas mengenai pengertian dan fungsi pemilu, bisa dimaknai  pemilu itu suatu momen yang sangat penting. Karena siapa yang bakalan menduduki jabatan di pemerintahan eksekutif maupun legislatif, merekalah yang menentukan keberlangsungan suatu pemerintahan. Oleh karena itu, suara yang diberikan kepada wakilnya saat pemilu menjadi hal yang harus benar-benar diperhatikan dan hati-hati. Karena itu yang menentukan maju dan merosotnya suatu negara kedepannya selama masa pemerintahannya. Dalam menentukan pilihannya, perilaku pemilu sendiri pasti di latarbelakangi oleh faktor-faktor tertentu yang mempengaruhinya. Untuk melihat perilaku pemilu dalam menentukan pilihannya. Saya akan menjelaskan dengan menggunakan pendekatan rational-choice dan pendekatan strukturalis.
Perilaku pemilu sendiri di latarbelakangi oleh pemikirannya yang secara rasional untuk menentukan pilihannya. Karena pada dasarnya seorang manusia mempunyai sikap yang kritis . Dimana pemilih dalam menentukan pilihannya terletak pada pilihan yang terbaik dan keuntungan  terbesar yang mereka dapatkan. Seperti halnya, pemilih menetapkan pilihannya pada kandidat atau partai tertentu. Karena pada saat periode pemerintahannya kandidat atau partai ini dianggap mampu menjalankan pemerintah dengan baik. Selain itu pemikiran ini juga atas dasar penelian kinerja pemerintah masa lampau. Apabila kandidat atau partai sekarang kinerjanya lebih baik dari pada pemerintahan sebelumnya, pasti akan dipilih kembali.
Sebagai contoh pemerintahan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pembangunan di Indonesia mengalami kemajuan signifikan. Pertumbuhan ekonomi misalnya, pada tahun 1998 minus 13.1 milliar dolar AS, pada tahun 2008 naik menjadi 69.1 persen. Tingkat kemiskinan juga berkurang. Pada tahun 1998, angka kemiskinan mencapai 24.2 persen. Pada awal Presiden SBY, tingkat kemiskinan turun menjadi 16.7 persen. Dan pada 2008 tinggal 15.4persen dari total penduduk Indonesia. utang kepada Dana Moneter Internsional (IMF) dipangkas habis pada masa pemerintahan SBY. Tengok saja pada tahun 1998, utang Indonesia kepada IMF sebesar 9.1 miliar dolar AS. Pada tahun 2006,  dua tahun setelah memimpin Indonesaia, Presiden SBY berhasil melunasi seluruh utang kita sebesar 7.8 miliar dolar AS.[3]
Dari melihat data diatas, bahwa pemerintahan Presiden SBY lebih baik dan memberikan perubahan dari pemerintahan pada era sebelumnya yaitu Presiden Megawati Soekarnoputri. Dimana Presiden Megawati Soekarnoputri dianggap gagal dalam masa pemerintahannya. Menutup lembaran tahun 2002, pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri mendapat penilaian kritis dari berbagai pihak. Pemerintahan Mega dinilai lemah dalam kepemimpinan, sistem pemerintahan, penegakan HAM, dan komunikasi politik. Di bidang ekonomi, pemerintah Megawati belum menunjukkan prestasi yang diharapkan. Penilaian itu datang dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di Bandung, dan pengamat politik Dr Amir Santoso.[4] Oleh karena itu, Presiden SBY dipilih lagi sebagai Presiden RI pada periode 2009-2014. Karena kinerjanya yang dianggap baik dan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Kerena pada dasarnya pemilih akan memberikan hak suaranya pada partai yang paling menjanjikan keuntungan bagi dirinya. Selain itu pemilih tidak peduli terhadap konsep politik yang dibawa suatu partai. Melainkan kepada keuntungan terbesar yang mereka dapatkan apabila partai itu berada dalam pemerintahan dan bisa menjamin kehidupannya. Pemilih juga menempatkan pilihannya apabila terdapat persamaan tujuan dan kepentingan yang ia miliki. Maka ia dapat melimpahkan perwakilan kepentingannya kepada partai politik yang dianggap sama dengan jalan pikirannya.
Namun saya kurang setuju terhadap penjelasan yang mengatakan bahwa pemilih dalam menentukan pilihannya dipengaruhi oleh pilihan yang terbaik dan keuntungan  terbesar yang mereka dapatkan. Seperti halnya, pemilih menetapkan pilihannya pada kandidat atau partai tertentu. Karena pada saat periode pemerintahannya kandidat atau partai ini dianggap mampu menjalankan pemerintah dengan baik. Sehingga dalam kehidupannya ia merasakan sejahtera pada saat itu.
Namun menurut pendapat saya perilaku para pemilih pada saat pemilu lebih dipengaruhi keterikatan dalam struktur sosial yang berda didalam masyarakat. Dimana ada faktor-faktor yang sangat penting yang bisa mempengaruhi pilihannya. Seperti agama, ideologi, kesamaan almamater, lingkungan dan tempat tinggal.
 Agama menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi perilaku pemilu. Karena negara Indonesia yang sebagian besar adalah pemeluk agama Islam. Maka mereka akan memilih kandidat-kandidat yang memang beragama Islam. Di kalangan partai politik, agama dapat melahirkan dukungan politik dari pemilih atas dasar kesamaan teologis, ideologis, solidaritas dan emosional. Fenomena partai yang berbasis agama dianggap menjadi daya tarik kuat dalam preferensi politik. Dalam literatur perilaku pemilih, aspek agama menjadi pengamatan yang penting. Pemilih cenderung untuk memilih partai agama tertentu yang sesuai dengan agama yang dianut. Di Indonesia faktor agama masih dianggap penting untuk sebahagian besar masyarakat. Misalnya seorang muslim cenderung untuk memilih partai yang berbasis Islam dan sebaliknya  seorang non-muslim cenderung untuk memilih partai non-muslim
Selain itu, ajaran agama Islam sendiri menegasakan, bahwa dalam memilih seorang pemimpin harus yang beragama Islam. Oleh karena itu ajaran yang seperti ini tidak bisa disangkal karena merupakan dogma yang harus diterima setiap orang, dipatuhi dan dijalankan. Kerena sudah menjadi pedoman hidup, seolah-olah tidak bisa keluar dari norma tersebut. Sehingga para pemilih memang benar-benar sudah terpengaruh pada ajaran yang diyakiniya tersebut. Sebagai contoh, bahwa selama ini Presiden Indonesia di jabat oleh orang Islam. Hal itu terjadi karena mayoritas pemeluk agama Islam dan para pemilih juga akan memilih yang beragama Islam. Karena apabila tidak memilh pemimpin yang beragama Islam, sama saja menyalahi norma yang menjadi pedoman hidup dan hal ini langsung dipertanggungjawabkan kepada Tuhan di akherat kelak. Sehingga manusia takut untuk melanggar karena bisa diganjar dosa, atas perbuatannya.
Selain agama, ideologi juga bisa mempengaruhi perilaku pemilu. Melihat latar belakang Indonesia, munculnya partai politik dengan berbagai ideologi menjadi keberagaman tersendiri. Pada saat pemerintahan Presiden soekarno, sebagai awal berdirinya bangsa Indonesia. Soekarno sendiri sudah berusaha menggabungkan ideologi-ideologi besar yang berada pada dimensi politik. Ideologi besar saat itu adalah nasionalis, agama, dan komunis. Lalu disatukan oleh Soekarno dengan nama NASAKOM, agar orang-orang didalamnya dapat bersatu dan tidak terpecah. Namun kenyataanya Soekarno gagal dalam mempersatukan ideologi-ideologi besar ini. Hingga saat ini, partai-partai di Indonesia masih menggunakan ideologi ini kecuali komunis. Hal ini sangat mempengaruhi perilaku pemilih dalam pemilu. Para pemilih akan memilih partai politik yang dianggap memiliki ideologi yang sama, pemikiran dan tujuan yang sama.
Kesamaan almamater juga sangat mempengaruhi perilaku pemilih. Karena pada dasarnya ikatan batin sangat kuat bagi orang yang berada dalam keluarga tersebut. Sebab keluarga menjadi lingkungan pertama manusia dalam berinteraksi dan disitu mulai ditanamkan nilai-nilai dan norma dalam kehidupan sosial. Sehingga watak dan pemikiran orang juga dipengaruhi oleh keluarga. Sebagai contoh, pada saat pemilu ada saudara yang mencalonkan dirinya sebagai calon legislatif. Meskipun dia tahu bahwa saudaranya tidak mempunyai kapabilitas dalam perpolitikan, tetapi dia tetap memilih saudaranya. Hal ini didasari ikatan batin yang sangat kuat.
Selain itu lingkungan tempat tinggal juga mempengaruhi prilaku pemilu.. Dimana individu setiap harinya melakukan aktivitas dilingkungan tersebut. Sehingga pola pikiran dan perilaku dipengaruhi oleh orang-orang dan keadaan lingkungan sekitar. Seolah-olah pola perilaku mereka sudah terstruktur akibat dari pengaruh lingkungan. Sebagai contoh, daerah Jawa Tengah sebagai basis partai PDIP. Hal ini dipengaruhi karena provinsi Jawa Tengah banyak memunculkan kader-kader terbaik partai berlambang banteng bermoncong putih. Oleh karena itu mayoritas penduduknya memilih partai tersebut. Secara tidak langsung pasti orang-orang yang berada di daerah tersbut juga memilih PDIP karena terpengaruh oleh lingkungannya.[5]
Pada intinya saya tidak setuju, bahwa perilaku pemilu yang hannya dilatarbelakangi oleh pilihan terbaik dan keuntungan yang ia dapatkan. Harus dimaknai sebagai patokan dalam melihat prilaku pemilihan umum. Meskipun pemilih berpikir secara rasional dalam menentukan pilihan. Namun terlihat manusia hanya sebagai obyek materi semata, dan kurang memperhatikan alturisme manusia. Karena seolah-olah manusia disandera hanya oleh motivasi keuntungan saja dalam melakukan tindakan.[6] Hal ini mengabaikan kenyataan bahwa manusia juga disisi lain bisa jadi bertindak berdasarkan pada motivasi kemanusian. Bisa saja manusia bertindak berdasarkan volunter dan keikhlasan yang terkait dengan kepercayaan nilai-nilai yang dianut dan dikhayati pelaku bersangkutan. Selain itu pemikiran yang seperti ini telah mengabaikan kemajemukan motif. Karena sebenarnya tindakan manusia bisa dipengaruhi beberapa faktor yang bersumber dari diri manusia dan faktor lingkungan yang mempengaruhi. Selain itu, sebenarnya tindakan manusia tidak terlepas pula dari struktur sosial masyarakat tersebut seperti (budaya, agama, ideologi, kesamaan almamater, dan lingkungan  tempat tinggal) dimana pelaku bersangkutan berada.

Bibliography


BUKU
Pamungkas, S. (2009). Perihal Pemilu . Yogyakarta: Laboraturium Jurusan Ilmu Pemrintahan dan Jurusan Ilmu Pemrintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.
Roth, P. D. (2008). Studi Pemilu Empiris. Jakarta: Friedrich-Naumman-Stiftung fur die Freiheit.
WEBSITE
http://www.presidenri.go.id/index.php/indikator/, diakses pada tanggal 28 Juni 2013 pukul 07.52 WIB.

http://www.suaramerdeka.com/harian/0212/29/nas1.htm, diakses pada tanggal 28 Juni 2013 pukul 08.18 WIB.










[1] Larry Diamond, dalam tulisan, Pamungkas, S. (2009). Perihal Pemilu . Yogyakarta: Laboraturium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, hal.3.

[2] Andrew Haywood, dalam tulisan, Pamungkas, S. (2009). Perihal Pemilu . Yogyakarta: Laboraturium Jurusan Ilmu Pemrintahan dan Jurusan Ilmu Pemrintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.

[3] http://www.presidenri.go.id/index.php/indikator/, diakses pada tanggal 28 Juni 2013 pukul 07.52 WIB.
[4] http://www.suaramerdeka.com/harian/0212/29/nas1.htm, diakses pada tanggal 28 Juni 2013 pukul 08.18 WIB.