Sumber Foto:
http://fahmirantiw25.files.wordpress.com/2013/05/korean-wave.jpg?w=551&h=409
Sepak
Terjang Korean Wafe di Indonesia
I.
Latar Belakang
Dalam makalah
kali ini saya akan membahas mengenai bagaimana globalisasi budaya Korea dapat
diterima oleh kalangan remaja Indonesia. Namun permasalahannya tidak hanya
diterima, melainkan menjadi sebuah fanatisme yang besar terhadap produk-produk
yang disungguhkan Korea. Dampaknya akan meningkatkan perekonomian negara Korea.
Permasalahan ini perlu dikaji lebih mendalam. Karena perkembangan teknologi dan
informasi yang begitu pesat. Secara langsung akan bepengaruh terhadap
pentransferan nilai-nilai budaya Korea ke Indonesia. Seperti yang kita ketahui
bahwasannya budaya suatu negara menjadi hal yang sulit diterima ole negara
lain. Namun hal ini malah bertolak belakang. Globalisasi budaya Korea masuk di
Indonesia menjadi hal yang sangat di diidolakan. Apapun produk dari Korea
menjadi sebuah sasaran utama oleh kaum remaja. Apa yang yang menjadikan hal ini
bisa terjadi. Disini saya akan memberikan gambaram sedikit mengenai globalisasi
budaya Korea.
Maraknya produk-produk budaya Korea di
seluruh belahan dunia, sebenarnya berawal pada tahun 1994 ketika presiden
Korea, Ki, Young-sam mendeklarasikan globalisasi sebagai visi nasional dan
sasaran strartegi pembangunan. Kemudian recana ini dimanifestasikan oleh
Menteri Budaya Korea waktu itu, Shin Nak-yu, dengan menetapkan abad 21 sebagai
“century of culture”.
Berbagai upaya dan pembenahan dilakukan
untuk mewujudkan globalisasi budaya Korea. Mulai dari preservasi dan modernsasi
warisan budaya tradisional Korea agar lebih dapat diterima publik mancanegara,
melatih tenaga profesional dalam bidang seni dan budaya, memperluas fasilitas
kultural diwilayah lokal, membangun pusat budaya di luar negeri, sampai
membangun jaringan computer dan internet di seluruh pelosok negeri untuk
menunjang persebaran informasi budaya.[1]
Upaya integratif pemerintah Korea tersebut
mulai mendatangkan hasil nyata dalam jangka waktu lima tahun. Dimana budaya
Korea mulai terekspansi ke manca negara. Pada tahun 1999 adanya krisis ekonomi,
sehingga drama Korea menjadi marak diimpor negara-negara Asia Tenggara. Hal ini
terjadi karena pilihan yang benar-benar ekonomis, jika dibandingkan drama
Jepang yang lebih mahal 4 kali lipat dan Hongkong yang bisa lebih mahal 10 kali lipat.
Seiring berjalannya waktu budaya Korea
tidak hanya marak dikosumsi di wilayah Asia Tenggara, melainkan sampai ke
Amerika Serikat, Amerika Latin, Timur Tengah, yang terbukti dengan adanya fans
club disana. Dalam kurun waktu 10-15 tahun terakhir, budaya Korea berkembang
begitu pesatnya hingga meluas dan diterima masyarakat dunia. Hingga
menghasilkan sebuah fenomena demam budaya Korea di tingkat global, yang
dinamakan sebagai “hallyu”.
“Hallyu
atau Korean wave” adalah nama yang diberikan atas tersebarnya budaya pop
Korea secara gobal di seluruh negara, termasuk Indonesia. Atau secara garis
besarnya mengacu pada globalisasinya budaya Korea. Kejadian ini diikuti dengan
banyaknya perhatian terhadap produk Korea, seperti film, musik, gaya
berpakaian. Fenomena ini yang sekarang
sedang melanda generasi muda di Indonesia yang umumnya menyukai drma dan musik
Korea.
Di Indonesia sendiri, hallyu diawali dengan sering diputarnya drama Korea Selatan di
acara televisi. Dimana terdapat salah satu stasiun televise Indonesia yang
sukses menayangkan drama Endless Love, atau
yang berjudul resmi Autumn in My Heart di
Korea, pada tahun 2002. Dari kesuksesan penyiarin ini, akhirnya banyak
stasiun-stasiun tv di Indonesia yang menayangkan drama Korea.
Selain itu anak-anak muda di Indonesia
tidak hanya menyukai drama Korea. Melainkan suka juga dengan musik-musik korea
atau yang lebih dikenal dengan sebutan K-Pop. Dimana musik ini mengusung “dance
pop”, penyanyi tidak hanya membawakan lagusaja namun diikuti dengan tarian yang
menajukban. Dengan adanya model seperti ini diharapkan penikmat musik akan
lebih terkesan dengan adanya aksi-aksi dance yang menakjubkan.
Tidak bisa dipungkiri keberhasilan budaya
korea ini tidak hanya pada faktor globalisasi, namun juga dipengaruhi oleh
adanya media yang menjadi peranan besar. Dimana dengan media niali-nilai
gerakan hallyu atau globalisasi
budaya dapat di bawa hinga kebelahan
dunia manapun, ibarat virus yang menyebar ke seluruh negara. Media yang pertma
kali memperkenalkan dan mentransfer nilai-nilai budaya Korea adalah televise.
Dimana televise saat itu menampilkan drama. Dari drama bertambah lagi pada
kesukaan musik Korea. Hingga media yang berhasil melakukan gerkan hallyu tidak hanya telelvisi melainkan
VCD dan DVD.
Namun yang mempunyai peranan paling besar
dalam menyebarkan nilai-nilai hallyu adalah
internet. Dimana internet dapat diakses oleh siapa saja dan didalamnya memuat
detail mengenai informas-informasi yang berkaitan dengan budaya Korea. Dengan
didukung era globalisasi ini saat menguntungkan bagi gerakan hallyu untuk menyuntikkan virus-virusnya
diseluruh negara manapun. Dahsyatnya penyebaran hallyu ini dapat dilihat pada banyaknya orang-orang yang elihat
video-video kore di YouTube, banyaknya followers di Twitter boy band dan girl
band Korea. Sehingga dapat dilihat animo masyarakat sangat besar dalam hal ini.
Berdasarkan paparan diatas tulisan ini
memilki fokus bagimana dampak adanya globalisasi budaya Korea terhadap pola
kehidupan masyarakat. Kajian ini perlu dilakukan memebrikan gambaran kepada
masyarakat, bahwa globalisasi buday korea menjadi cara ampuh dalam pembangunan
negara dan peningkatan perekonomian negara.
II.
Rumusan Masalah
1.
Bagimana proses globalisasi budaya Korea dapat diterima di
Indonesia ?
2.
Apa pengaruh tertanamnya globalisasi budaya Korea terhadap prilaku
kehidupan remaja putrid di Indonesia ?
III.
Konstruksi Teori
Globalisasi
Pada dasarnya globalisai telah mententuh
hampir di segala bidang kehidupan umat manusia. Karen arus globalisasi bersifat
integrasi, kesalingketergantungan, multilateralisme, keterbukaan dan berbagai
intepretasi lainnya. Menurut kaum realis, globalisasi tidak merubah unsur
paling signifikan dari politik dunia, yaitu pembagian teritorial dunia kedalam nation-state. Sementara hubungan ekonomi
dan masyarakat negara semakin membuat mereka saling tergantung satu sama lain,
namun state-system tetap
mempertahankan kedaulatannya. Dengan kata lain globalisasi mempengaruhi
kehidupan sosial, ekonomi dan budaya, namun tidak merubah prinsip struggle for power anatara negara.[2]
Selain itu banyak juga yang mengatakan
bahwa goblisasi sebagi era baru dalam politik dunia, yaitu: 1. Transformasi
ekonomi yang sanagat cepat menyebabkan munculnya politik dunia baru. Negara
bukan lagi unit yang tertutup dan mereka tidak bisa lagi mengontrol
perekonomiannya. Ekonomi dunia semakin interdependen, dengan perdagangan dan keuangan
yang semakin meluas. 2. Revolusi komunikasi secara fundamental telah merubah
cara kita berhubungan dengan bagian dunia lain.kita sekarang hidup dalam dunia
dimana kejadian di satu lokasi dapat segera diketahui dan dilihat di bagian
dunia lainnya. 3. Kebudayaan global yang berkembang pesat. 4. Dunia menjadi
semakin homogen. Perbedaan antara manusia semakin berkurang. 5. Ruan dan waktu
menjadi kurang berarti. Batasan geografis semakin berkurang dengan semakin
cepatanya komunikasi dan dunia modern. 6. Munculnya pemerintah global, dengan
pergerakan sosial dan politik internsional dari state ke sub-state,
transnasional dan internsaional. 7. Budaya kosmopolitan. Manusia mulai berpikir
dan bertindak global. 8. Budaya resiko (rizk
culture), dimana manusia menyadari setiap resiko yang mereka hadapi
bersifat global.[3]
Budaya
Menurut E.B. taylor, budaya adalah Suatu
keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan,
hukum, adat istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari
manusia sebagai anggota masyarakat.[4] Namun sebenarnya kita
sendiri tidak menyadari adanya kehadiran budaya.sebagai pola dalam keseharian
kita. Budaya sendiri sebagai suatu hal
yang tidak terlihat secara kasat mata atau abstrak seperti nilai, tradisi,
kepercayaan , norma, dan kebutuhan universal menempati lapisan dasar. Karena
mendominasi sebagian besar budaya manusia pada umumnya. Sedangkan lapisan atas
hanya sebagian kecil yang perwujudan dari artifak-artifak buaya seperti benda,
fashion, musik, gambar, juga symbol-simbol verbal dan non verbal lainnya.
Kemudian Ting Too-Mey mengidentifikasi
lima fungsi budaya yaitu: 1. Identity
meaning function, yang berarti bahwa budaya berfungsi sebagai atribut dan
penanda yang menunjukkan identitas kita melalui adanya kepercayaan, nilai, dan
norma-norma budaya. 2. Group Inclusion
Function, yaitu budaya sebagai pemenuhan kebuntuhan untuk berafiliasi
dengan suatu kelompok dan membentuk persaaan menjadi bagaian dalam kelompok
tersebut (sesnse of belonging). 3. Intergroup boundary regulation function, dimana
buadya dalam in-group kita membentuk
kecenderungan bersikap dalam interaksi dengan kelompok budaya lain (out-group). 4. Ecological adaptation function, budaya mengajarkan proses adaptasai
dalam interaksi anatar individu, kelompok budaya, dan dalam lingkungan luas. 5.
Cultural communication function, dan
komunikasi pun mempengaruhi budaya kita.[5]
IV.
Analisis
Sebelum membahas lebih dalam mengenai
bagimana Globalisasi budaya Korea dapat diterima di Indonesia dan apa pengaruhnya
terhadap prilaku kehidupan remaja putri di Indonesia. Disini saya kan
memperkenalkan apa itu Asian Fans Club ? Asian Fans Club Adalah blog Indonesia
yang berisi tentang berita-berita dunia hiburan Korea yang didirikan pad
tanggal 1 Agustus 2009 oleh seorang remaja perempuan bernama Santi Ela sari.
Kebanyakan pengunjung situs ini dari Indonesia, sebagian besar wanita di bawah
25 tahun.
Jika dilihat dari statistik jumlah
pengunjung sampai pada 3 Juni 2011, Asian Fans Club telah dikunjungu sebanyak
42.811.744 pengunjung. Hal ini berarti Asean Fans Club dikunjungi oleh
rata-rata 58.646 orang setiap harinya. Jumlah posting juni 2009 tercatat berita
yang di post sejumlah 49 berita dalam satu bulan. Setahun kemudian di bulan
Juni 2010 post meningkat menjadi 629 dalam satu bulan dan terus melonjak hingga
1524 post dam bulan Mei 2011 (asianfansclub.wordpress.com).[6]
Data dan angka tersebut menunjukkan budaya pop
Korea hadir dan dapat diterima oleh kalangan remaja Indonesia, khususnya
perempuan. ketertarikannya kepada budaya Korea menjadikan para penggemarnya
tidak hanya menikmati produk-produk budaya Korea, seperti darama, lagu, film,
tetepi juga ingin mengetahui seputar berita kehidupan artis Korea. Hal ini menunjukkan fenomena nyata bahwa
budaya pop Korea telah menciptakan suatu komunitas bagi para penggemarnya. Bisa
disebut juga sebaga fanatisme, dimana dalam kelompok-kelompok tersebut
terbangun sebuah apresiasi bagi segala hal yang berkaitan dengan Korea. Dengan
hal ini, budaya pop Korea telah menciptakan fanatisme dalam diri remaja wanita
di Indonesia.
Berdsarkan penjelasan diatas, kita dapat
menyimpulkan bahwa dalam kasus ini situs Asian Fans Club tersebut terdapat
interaksi antara budaya Korea dengan budaya Indonesia. Dimana budaya Korea
masuk ke dalam budaya Indonesia. Secara umum budaya Korea diterima masyarakat
Indonesia, khususnya kelompok budaya wanita dengan usia remaja. Dalam hal ini
interaksi tersbut menimbulkan budaya baru. budaya baru yang dimaskud adalah
budaya penggemar. Budaya penggemar ini terbentuk oleh interkasi antara budaya
Korea dan media yang mengantarkannya cenderung membentuk watak fanatisme dalam
diri mereka. Fanatisme inilah yang mendorong kelompok budaya penggemar
mempertahankan nilai-nilai budaya Korea tetap hadir dan diterima di Indonesia.
Budaya Korea
pada dasarnya berbeda dengan budaya Indonesia. Kedua budaya tersebut memiliki
warisankultural dan tradisi yang berbeda, kerangka rujukan yang berbeda.
Kesamaan antara keduanya adalah ditataran nilai universal sebagai sebuah bangsa
Asia, yang dalam konsep dikotomi budaya individualistik-kolektivistik sama-sama
sebagai kelompok budaya kolektivistik. Namun, lebih daripada itu, budaya Korea menjadi
begitu diterima di Indonesia karena budaya Korea disebarluaskan dalam kemasan
budaya pop.Budaya Korea, yang pada dasarnya terdiri dari nilai-nilai
tradisional yang cukup kompleks dan beorientasi ritual, agar lebih diterima
oleh publik dunia dikemas menjadi sebuah budaya yang diketahui dan diikuti banyak
orang, yang pembentukannya berdasarkan kemauan masyarakat untuk diminati oleh
masyarakat itu sendiri, dan biasanya sifatnya temporer atau disebut dengan
budaya popular (Holliday, dkk, 2004).[7]
Budaya Korea
menjadi popouler karena menyisipkan nilai-nilai budaya universal untuk
melahirkan ketertarikan bagi banyak orang. Budaya populer Korea sendiiri
dibentuk dari proses aktif penyebarluasan makna dan diwujudkan dengan dikeamas
sesuai dengan keinginan masysarakat. Sebagi contoh, musik Korea dikemas dengan genre musik dance pop, yaitu music pop barat dikombinasikan dengan tarian dan
kemampuan fisik. Dalam film drama, disajikan dengan ciri khas yaitu alur yang
dramatis.
Budaya Korea
pun tidak hanya diterima di Indonesia melainkan sudah sampai ke Amerika dan
Eropa. Dengan hal ini secara tidak langsung seorang penggemar pun akan
mengetahu budaya yang berada di Korea. Karena pemikiran-pemikiran pengemar
telah terpengaruh oleh budaya Korea tersebut. karena budaya Korea yang jamak,
maka penggemar mudah memahami dinamika budaya bangsa Korea.
Pada dasarnya
budaya Korea memiliki kerangka rujukan budaya popoler, yitu sebuah budaya yang
timbul sebagai respon atas tuntutan ekspansi keluar. Sehingga dalam hal ini,
budaya Korea bukanlah sebeuh kerangka rujukan asli yang berasal dari warisan
budaya leluhur yang tradisional. Melainkan budaya yang diciptakan sesuai selara
pasar. Meningat konteks budaya pada saat ini adalah era globalisasi. Melihat
konteksnya pada era globalisasi, akhirnya budaya ini menyebar sampai ke
negara-negara manapun termsuk Indonesia melalui penggunaan media, dalam hal ini
adalah internet. Sebenarnya di Indoesia
sendiri, kelompok-kelompok budaya yang ada telah memiliki suatu kerangkan
rujuakn tersendiri. Namun karena terjadinya kontak kebudayaan yang mengacu pada
masuknya budaya Korea ke Indonesia, budaya populer Korea ini cukup diterima.
Penerimaan sebuah budaya oleh kelompok budaya lain karen terindikasi dari
bertambahnya tingkat pengetahuan suatu kelompok budaya menganai nilai-nilai
budaya lain dari luar kelompoknya. Daiadopsinya sejumlah niali-nilai budaya
luar tersebut tersbut uttuk digunakan sebagi kerangka rujukan dalam kelompok
budayanya.
Dalam konsepsi
budaya sebagai enigma (Ting Too-Mey, 1999), budaya populer yang dibawa oleh
Korea ini berada dalam dimensi konkret yang terwujud dalam artifak-artifak
budaya seperti lagu, drama, film, musik, program televisi, makanan, dan bahasa.
Sedangkan dimensi abstraknya, yang berupa nilai, norma, kepercayaan, tradisi,
makna, terkandung secara tidak langsung dalam artifak budaya tersebut. Dalam kaitannya
dengan fanatisme yang terbentuk dalam situs Asian Fans Club, penerimaan budaya
pop Korea oleh kelompok penggemar di Indonesia dapat dikatakan masih berada
dalam dimensi konkret, yaitu penerimaan terhadap musik, film, drama, dan
artis-artis Korea. Tentu saja, internalisasi nilai-nilai budaya ketika mengkonsukmsi
artifak kebudayaan menjadi sesuatu yang tak terhindarkan, tetapi dapat terlihat
bahwa fanatisme yang terbentuk dalam diri kelompok penggemar, yang tercermin
dari situs Asian Fans Club, memiliki keterbatasan efek dalam dimensi abstrak.
Budaya pop Korea di Indonesia masih terwujud dalam penerimaan terhadap musik,
film, dan dramanya, ataupun penggunaan bahasanya secara sederhana, tetapi belum
sampai pada pelaksanaan tradisi atau kepercayaan yang
sesuai budaya Korea.[8]
Globalisai
dlam kasus ini terjadi karena adanya proses mengkreasikan, menggandakan,
menekankan dan mengintensifikasi pertukaran dan ketergantungan informasi
mengenai dunia hiburan Korea di Indonesia. hal ini bisa terjadi karena adanya
internet sehingga terbongkarnya batasan-batasan antara negara, dimana jarak
tidak menjadi suatu permsalahan dalam mengakses informasi suatu negara lain.
Dengan demikian peranan internet sangat besar bagi penyeberluasan budaya Korea
ke negara-negara lain. Dimana era globalisasi ini sangat mendukung adanya peran
aktif media dalam penyebaran budaya Korea tersebut. Dari sini dapat dilihat
adanya proses kerasi, penggandaan, dan intensifikasi pertukaran dan
ketergantungan informasi mengenai dunia hiburan Korea.
Dampak dari
berkembangnya budaya Korea di Indonesia juga membuat masyarakat
Indonesia, khususnya remaja meniru apa saja yang digunakan oleh idola mereka.
Mulai dari gaya berpakaiannya, brand kosmetik yang digunakan, alat-alat
elektronik yang digunakan dalam serial drama, dll. Remaja di Indonesia saat ini
sudah banyak yang meniru cara berpakaian artis Korea. Model-model pakaian Korea
banyak di jual di sosial media seperti long dress, dll. Mereka lebih percaya
diri apabila menggunakan pakaian yang sama dengan artis-artis Korea. Selain
model pakaian yang “ala-ala Korea” ada juga kosmetik. Brand-brand kosmetik yang
berasal dari Korea, saat ini sangat digemari oleh remaja-remaja di Indonesia.
Setelah mengalami “demam” drama-drama, boys dan girls band Korea. Mereka yang tertarik
dengan kosmetik Korea, umumnya karena penasaran untuk mencoba kosmetik
yang digunakan oleh artis-artis Korea, dan juga ingin mendapatkan kulit yang
mulus dan indah seperti artis-artis Korea. Beberapa brand kosmetik Korea yang
sangat digemari oleh remaja di Indonesia yaitu Etude House, innisfree, Missha, it’s skin, banila co., thefaceshop,
laneige, peripera, hanskin, baviphat, skin79, dan lain-lain. Banyaknya
jenis produk dan brand kosmetik dari Korea ini menjadi kebutuhan baru
masyarakat Indonesia, kebanyakan dari mereka tidak peduli dengan harga kosmetik
tersebut, walaupun harganya sangat tinggi dan ditambah pajak serta biaya
pengiriman barang, itu tidak menjadikan masalah bagi mereka.
Selain produk
kosmetik, Korean wave ini juga berdampak pada barang-barang elektronik yang
digunakan oleh masyarakat Indonesia. Penjualan Handphone seperti samsung, dan
LG meningkat, karena di setiap serial drama Korea, HP dengan brand tersebut
selalu dipakai oleh artis-artis Korea.
Hal ini tentunya
juga berpengaruh pada perekonomian Indonesia. Semakin banyaknya permintaan akan
kosmetik brand Korea, maka Indonesia semakin banyak mengimpor produk-produk
kosmetik dari Korea. Masyarakat di Indonesia semakin konsumtif dan
“tergila-gila” dengan produk impor dari Korea. Banyaknya fans-fans dari boyband
dan girlband Korea menyebabkan masyarakat Indonesia lebih tertarik dengan baju
impor dari Korea, dan yang tadinya bukan pengguna kosmetik, setelah
adanya “demam” Korea ini mereka menjadi tertarik untuk membeli make-up hanya
demi menunjukkan loyalitas dan menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang
“K-POPers”.
V.
Kesimpulan
Dimana budaya Korea masuk ke dalam budaya
Indonesia. Secara umum budaya Korea diterima masyarakat Indonesia, khususnya
kelompok budaya wanita dengan usia remaja. Dalam hal ini interaksi teresbut
menimbulkan budaya baru. budaya baru yang dimaskud adalah budaya penggemar.
Budaya penggemar ini terbentuk oleh interkasi antara budaya Korea dan media
yang mengantarkannya cenderung membentuk watak fanatisme dalam diri mereka.
Fanatisme inilah yang mendorong kelompok budaya penggemar mempertahankan
nilai-nilai budaya Korea tetap hadir dan diterima di Indonesia.
Pada
akhirnya efek dari Korean wave mulai bisa dirasakan oleh
masyarakat Indonesia secara keseluruhan hampir diseluruh lini kehidupan. Bukan
hanya dari segi hiburan yang banyak digandrungi masyarakat Indonesia khususnya
anak muda, tapi juga dari segi ekonomi dimana banyak barang dan perabotan asal
Korea yang digandrungi oleh generasi kini di Indonesia. Efek ini masih berlangsung
dan terus berlanjut. Industri K-pop semakin tumbuh subur di Indonesia, baik
dengan menghadirkan secara langsung ataupun dengan perubahan gaya hidup dan
konsumsi hiburan masyarakat Indonesia secara perlahan-lahan.
Pengaruh
budaya yang juga berdampak pada pola konsumsi masyarakat Indonesia inilah yang
sebenarnya menjadi tantangan ekonomi Indonesia ke depannya. Kita ditantang
untuk menjadi bangsa yang tidak hanya mengkonsumsi budaya asing dan juga
produk-produknya, tapi justru mengembangkan apa yang dimiliki oleh bangsa ini,
baik secara budaya maupun bentuk lainnya. Menggunakan produk dan mendayagunakan
budaya lokal berarti secara tidak langsung telah membantu menumbuhkan potensi
ekonomi lokal yang juga akan menumbuhkan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
VI.
Daftar Pustaka
Drs yanuar
Ikbar, M. (2006). Ekonomi Politik Internasional 1. Bandung: Refika
Aditama.
Fakih, D. M.
(2001). Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globaliasai. Yogyakarta: Insist
Press.
Nastiti, Aulia Dwi. (2010). Korean Wave di Indonesia: Budaya Pop,
Internet, dan Fanatisme Remaja. (online). ( HYPERLINK
"http://www.scribd.com/doc/67051422/Korean-Wave-di-Indonesia-Budaya-Pop-Internet-dan-Fanatisme-Remaja"
http://www.scribd.com/doc/67051422/Korean-Wave-di-Indonesia-Budaya-Pop-Internet-dan-Fanatisme-Remaja
, diakses pada tanggal 6 juni 2014).
Wahyu, Anhar. (2013). Pengertian Budaya Menurut Para Ahli. (online). ( HYPERLINK "http://www.lintasberita.web.id/pengertian-budaya-menurut-para-ahli/" http://www.lintasberita.web.id/pengertian-budaya-menurut-para-ahli/
, diakses 7 Juli 2014)
[1]
Nastiti, Aulia Dwi. (2010). Korean Wave
di Indonesia: Budaya Pop, Internet, dan Fanatisme Remaja. (online). (http://www.scribd.com/doc/67051422/Korean-Wave-di-Indonesia-Budaya-Pop-Internet-dan-Fanatisme-Remaja,
diakses pada tanggal 6 juni 2014).
[2]
Fakih, D. M. Runtuhnya Teori Pembangunan dan
Galobalisasi. Yogyakarta: Insist Press. Hal. 202.
[3]
Ibid.
[4]
Wahyu, Anhar. (2013). Pengertian Budaya
Menurut Para Ahli. (online). (http://www.lintasberita.web.id/pengertian-budaya-menurut-para-ahli/,
diakses 7 Juli 2014)
[5]
Ting Too-Mey dalam Nastiti, Aulia Dwi. (2010). Korean Wave di Indonesia: Budaya Pop, Internet, dan Fanatisme Remaja.
(online). (http://www.scribd.com/doc/67051422/Korean-Wave-di-Indonesia-Budaya-Pop-Internet-dan-Fanatisme-Remaja,
diakses pada tanggal 6 juni 2014). Hal.
7.
[6]
Nastiti, Aulia Dwi. (2010). Korean Wave
di Indonesia: Budaya Pop, Internet, dan Fanatisme Remaja. (online). (http://www.scribd.com/doc/67051422/Korean-Wave-di-Indonesia-Budaya-Pop-Internet-dan-Fanatisme-Remaja,
diakses pada tanggal 6 juni 2014). Hal.
11.
[7]
Nastiti, Aulia Dwi. (2010). Korean Wave
di Indonesia: Budaya Pop, Internet, dan Fanatisme Remaja. (online). (http://www.scribd.com/doc/67051422/Korean-Wave-di-Indonesia-Budaya-Pop-Internet-dan-Fanatisme-Remaja,
diakses pada tanggal 6 juni 2014). Hal.
14.
[8]
Ting Too-Mey dalam tulisan Nastiti, Aulia Dwi. (2010). Korean Wave di Indonesia: Budaya Pop, Internet, dan Fanatisme Remaja.
(online). (http://www.scribd.com/doc/67051422/Korean-Wave-di-Indonesia-Budaya-Pop-Internet-dan-Fanatisme-Remaja,
diakses pada tanggal 6 juni 2014). Hal. 15-16.