Birokrasi
di Persimpangan Jalan
Seperti
yang kita ketahui bahwa birokrasi mempunyai peranan yang sangat vital dalam
penyelenggaraan negara. Dimana birokrasi sebagai sebuah institusi yang memiliki
struktur kepegawaian yang ditata secara sistemik, dapat bekerja efektif dan efisien
sebagai pelayan publik. Sehingga dalam kinerjanya birokrasi harus netral dan
seobyektif mungkin. Sehingga yang namanya birokrasi harus terbebas dari
kepentingan pribadi dan interest group.
Selain itu birokrasi harus bersih dari unsur politik. Walaupun pada
kenyataannya hal itu sulit di wujudkan. Mengingat birokrasi sebagai sebuah
institusi yang biasanya di tumpangi elit-elit politik di dalamnya untuk
menjalankan keputusan-keputusan politik sebagai instrument kebijakan.
Pembahasan
mengenai birokrasi sendiri tidak terlepas dari konsep-konsep birokrasi hasil
pemikiran Max Weber. Dimana Max Weber memandang birokrasi dengan konsep
idealnya. Weber memandang birokrasi rasional sebagai unsur pokok dalam proses
rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh lebih penting dari seluruh proses
sosial. proses rasionalisasi ini mencakup ketepatan dan kejelasan yang
dikembangkan dalam prinsip-prinsip memimpin organisasi sosial.[1]
Sehingga dari pemikiran Weber tersebut menghasilkan karakteristik yang ideal
dalam birokrasi sebagai berikut:
1. Para
anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya menjalankan
tugas-tugas impesroanal sesuai dengan jabatan mereka.
2. Terdapat
hirarki jabatan yang jelas.
3. Fungsi-fungsi
jabatan ditentukan secara tegas.
4. Para
pejabat diangkat berdsarkan suatu kontrak.
5. Para
pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi professional, idealnya didasarkan pada
suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalu ujian.
6. Para
pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi hak-hak pensiun. Gaji
bersifat berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat selalu dapat
menempati posnya, dan dalam keadaan tertentu, pejabat juga dapat diberhentikan.
7. Pos
jabatan adalah lapngan kerja pokok bagi para pejabat.
8. Suatu
struktur karis dan promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian
(merit), serta menurut pertimbangan keunggulan (superior).
9. Pejabat
sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatan maupun dengan sumber-sumber yang
tersedia dalam pos tersebut.
10. Pejabat
tunduk dalam sistem disiplin dan kontrol yang seragam.[2]
Sepuluh ciri
dari tipe birokrasi yang ideal ini, murni, atau paling rasional yang dikenalkan
oleh Max Weber ini merupakan jenis staf administratif yang seringkali diacukan
pada tout court (sebuatan
pasangannya) sebagai ‘birokrasi’. Masalah tersebut merupakan satu-satunya
pernyataan terpenting dalam ilmu-ilmu sosial, yang memiliki pengaruh sangat
besar.[3]
Sehingga kita
bisa mengetahui permasalahan yang melatarbelakangi tidak berjalannya dengan
baik konsep birokrasi yang di tawarkan oleh Weber. Karena permasalahannya jelas
dari para birokrat itu sendiri. Disamping itu karena tidak adanya jarak pemisah
yang jelas antara ranah politik dan ranah administrasi. Sehingga elit-elit
politik yang mempunyai kepetingan dapat masuk dengan leluasa kedalam lingkup
birokrasi tersebut. Hal ini yang mengakibatkan kebijakan-kebijakan yang
dihasilkan birokrasi tidak disesuaikan dengan kepetingan masyarakat, melainkan
kepentingan elit-elit politik tersebut. Dan dalam proses pembuatan kebijakan,
birokrasi seringkali di jadikan sebagai instrumen untuk melakukan tukar-menukar
keuntungan politik. Bentuk tukar-menukar keuntungan dapat berupa konsesi
kebijakan, janji kebijakan, dan konsepsi proyek dalam implementasi kebijakan.
Birokrasi juga dihadapkan
lagi dengan permasalahan masuknya nilai-nilai demokrasi yang menganggu
penugasan para birokrat. Pertama, dimana birokrasi bisa di kontrol politisi,
tapi juga diminta bebas dari intervensi. Kedua, birokrasi diharapkan menjadi
pelaksana kebijakan yang diambil para politisi, tapi juga diminta untuk
terlibat dalam formulasi kebijakan. Ketiga, birokrasi diharapkan terlibat dalam
formulasi kebijakan, tapi juga diminta untuk netral secara politik. Kuatnya
kontrol politisi menimbulkan tekanan
yang kuat terhadap birokrat. Sehingga secara tidak langsung birokrat akan masuk
kedalam ranah politik. Permasalahan ini juga menimbulkan adanya pola
patron-klien dalam birokrasi. Hal ini yang menjadi pertanyaan, dimanakah
netralitas birokrasi. Ketiga hal ini yang menjadikan
kontradiksi dan ambigunitas dari peran birokrasi dalam banyak hal. Karena peran
birokrasi yang tidak pernah didefinisikan secara jelas, baik dalam ranah
politik maupun dalam ranah non politik.
Permasalahan
yang tidak kalah penting dalam birokrasi adalah struktur birokrasi itu sendiri.
Dimana struktur birokrasi yang terlalu gemuk mengakibatkan kurang efektif dan
efisien dalam kinerjanya. Banyaknya pegawai/ birokrat yang di rekrtut
menjadikan birokrasi tidak berfungsi secara makasimal. Hal ini dikarenakan pada
proses perekrutan pegawai, terkadang pemerintah kurang memperhatikan standar
calon para pegawai tersebut. Mereka hanya melihat dari kedekatan orang yang ada
didalamnya. Sehingga seringkali pegawai yang direkrut tidak mempunyai loyalitas
dan tidak berkompeten di bidangnya. Permasalahan ini berujung pada adanya
praktek-praktek KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) baik dalam perekrutan maupun
dalam kinerjanya birokrasi itu sendiri. Selain itu gemuknya struktur yang
terdapat dalam birokrasi, mengakibatkan banyaknya pengeluaran yang dilakukan
oleh pemerintah untuk menggaji para birokrat tersebut. Dampaknya berujung pada
banyaknya APBN yang dikeluarkan oleh negara.
Melihat
banyaknya permasalahan dalam birokrasi mulai dari netralitas birokrasi yang
dipertanyaakan, karena terpangaruh oleh ranah politik, gemuknya sistem
birokrasi, dan praktik-praktik KKN. Membuat birokrasi jauh dari cita-cita tipe
idealnya. Oleh karena itu, harus adanya reformasi birokrasi dan hal ini
seharusnya menjadi pilihan pemerintah. Tanpa mereformasi birokrasi, maka akan
semakin sulit bagi pemerintah untuk mengerakan roda pembangunan kearah yang
lebih fokus dan lebih baik.
Reformasi di
Indonesia sebagai perubahan tanpa merusak (to
change without destroying) atau perubahan dengan memelihara (to change while preserving), merupakan
perubahan yang berdimensi restrukturisasi, revitalisai dan refungsionalisasi.
Restrukturisasi adalah tindakan untuk mengubah struktur yang dipandang sudah
tidak sesuai dengan tuntutan zaman dan dianggap tidak efektif lagi dalam
memajukan organisasi. Revitalisasi merupakan upaya untuk memberikan tambahan
energy atau daya kepada organisasi agar kinerjanya dapat lebih optimal.
Revitalisasi akan berakaitan dengan perumusan kembali uraian tugas, kewenangan,
alokasi anggaran dan pembahasan isntrumen. Refungsionalisasi lebih berkaiatan
dengan tindakan atau upaya untuk mengfungsikan kembali sesuatu yang sebelumnya
tidak berfungsi.[4]
Apabila kita
melihat dari aspek kelembagaan, merupakan kajian yang menyangkut struktur
organisasi, dan fungsi-fungsi dalam menjalankan kegitannya. Dari sini dapat
diberikan solusi:
1. Merampingkan
birokrasi, termasuk didalamnya lembaga-lembaga pengawas yang ada. Dengan
perampingkan struktur birokrasi, diharapkan kelambanan gerak birokrasi dapat
teratasi. Perampingan birokrasi merupakan suatu keharusan sebagai cirri
birokrasi yang modern.
2. Pengutan
lembaga-lembaga kontrol diluar sistem. Reformasi dalam bidang kelembagaan ini
sifatnya harus sangat “revolutif” atau
paradigmatik, artinya harus cepat dan sifatnya beubah 180 derajat dibanding
dengan kondisi yang ada saat ini. Reformasi berikutnya adalah bagaimana member
penguatan (empowering) terhadap society (masyarakat) dihadapam state (negara). penguatan ini sangat
penting dalam menciptakan model pemrintahan yang bersih dan mempunyai komitmen
yang kuat terhadap kepentingan publiknya.
3. Independensi
lembaga judikatif. Sebagai lembaga penegak hukum ini betul-betul harus
independen. Dengan begitu, ketika dia melakukan pengawasan (refree) atau sedang memproses sebuah kasus (law enforcement) akan mampu bertindak tegas tanpa pandang bulu.
Harapan selanjutnya datang dari masyarakat dan pers untuk melakukan pengawasan
secara konkret.[5]
Meskipun dalam
pengawasan kinerja birokrasi sudah ada lembaga internal yang mengawasi. Namun
hal ini dinilai kurang, tetap harus ada lembaga pengawasan melekat maupun
independen (ekstern). Kontrol ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh
organ atau lembaga-lembaga yang secara organisasi/structural berada di luar
pemrintah dalam arti eksekutif. Seperti KPK( Komisi Pemberantasan Korupsi),
Komisi Yudisial (KY), Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Kejaksaan, Komisi
Kepolisian, Komisi Ombudsman Nasioanal, Komnas HAM, dan komisi lainnya yang
memang dirancang untuk membantu pemerintah menciptakan pemerintahan yang bersih
dan berwibawa. Lembaga tersbut dapat membantu masyarakat dalam menyelesaikan
berbagai permasalahan yang terkait dengan aparatur pemerintah, pejabat public,
yang selama ini dianggap kebal hukum bahkan tidak tersentuh hukum.[6]
Sedangakan untuk
meningkatkan kinerja pegawai birokrasi dalam pelayanan publik. Maka pemerintah
menerbitkan regulasi (peraturan peundang-undangan) yang mengatur kedudukan,
kewajiban, hak dan pembinaan Pegawai Negri berupa Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1974 yang kemudian diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian yang titik beratnya diarahakan pada prestasi kerja.
Dalam kaiatan
ini, untuk mengetahui seberapa profesional para PNS (sejalan dengan reformasi
dan seberapa besar perbedaan tingkat kemampuan, ketrampilan,dan pengetahuan
pegawai, serta untuk memperoleh aparat yang memilki tingkat kompetitif yang
tinggi) ialah dengan melakukan penilaian atas semua prilaku dengan kegiatannya
dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sehari-hari.[7]
Dengan adanya upaya reformasi ini, semoga bisa meningktakan kinerja birokrasi
dalam pelayanan publik. Serta membersihkan permsalahan-permasalahan lama yang
ada di dalam birokrasi itu sendiri.
Bibliography
Buku:
Albrow, M. (2005). Birokrasi . Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Jeddawi, D. M.
(2008). Reformasi Birokrasi, Kelembagaan, dan Pembinaan PNS. Jakarta
Selatan: Kreasi Total Media.
[1] Albrow, M. (2005). Birokrasi . Yogyakarta:
Tiara Wacana. hal. 42.
[2] WuG,
hlm. 126-7; Henderson and Parsons, op. cit., hlm. 334. Dalam, Albrow, M. (2005). Birokrasi . Yogyakarta:
Tiara Wacana. hal. 43-45.
[3] Loc.
cit.
[4] Sarundajang, 2003. Dalam, Jeddawi, D. M. (2008). Reformasi Birokrasi, Kelembagaan, dan Pembinaan
PNS. Jakarta Selatan: Kreasi Total Media.
[5]
Ibid. hal. 99.
[6]
Ibid. Hal. 78-79.
[7] Ibid.
Hal. 26.